MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR – Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Ridwan Andi Kambau, menguraikan perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sebagai teknologi yang meniru kecerdasan manusia dan telah merasuki berbagai aspek kehidupan.
Dalam Seminar Tarjih tentang Artificial Intelligence yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan di Makassar, Selasa (05/08), Ridwan menekankan pentingnya literasi digital dan etika dalam menyikapi dampak budaya AI, sekaligus memastikan manusia tetap menjadi subjek yang mengendalikan teknologi.
Ridwan memulai paparannya dengan menjelaskan bahwa AI dirancang untuk meniru kemampuan manusia, bahkan melampaui batas kemampuan manusia dalam beberapa aspek. Ia menganalogikan AI seperti anak kecil yang belajar membedakan anjing dan kucing melalui pengenalan berulang.
“Komputer dilatih dengan data, misalnya 100.000 gambar anjing dan kucing, sehingga mampu mengenali objek dengan akurasi tinggi, bahkan untuk objek yang belum dikenali manusia,” ujarnya.
Ia mencontohkan ChatGPT, yang bukan sekadar mesin tanya jawab, melainkan asisten pribadi cerdas yang bisa diarahkan untuk menghasilkan karya seperti makalah berkualitas Scopus hanya dengan perintah spesifik.
Menurut Ridwan, AI kini telah merambah berbagai sektor, mulai dari transportasi (mobil tanpa pengemudi seperti Tesla), kesehatan (robot dokter di rumah sakit AI di Tiongkok), hingga perangkat rumah tangga pintar seperti pembersih lantai otomatis.
Dalam dunia pendidikan, AI mempermudah pencarian dalil, tafsir, dan terjemahan, sementara di bidang e-commerce, algoritma AI mendorong rekomendasi produk yang memengaruhi keputusan konsumen.
“AI ada di sekitar kita, dari Google Maps hingga fintech yang menentukan kelayakan kredit berdasarkan data,” ungkapnya.
Dampak Kehadiran AI
Namun, Ridwan juga menyoroti dampak budaya dari dominasi AI. Ia menyebutkan otomatisasi, algoritmisasi pengambilan keputusan, dan privatisasi data sebagai ciri utama budaya AI.
“Sekarang, keputusan bisnis tidak lagi berdasarkan intuisi, melainkan data-driven. Sayangnya, Indonesia baru-baru ini menjadikan data kita sebagai barter dalam negosiasi dengan Amerika, padahal data adalah aset strategis,” kritiknya.
Ia memperingatkan bahwa data pribadi yang dikuasai pihak asing, seperti Google atau platform e-commerce, memungkinkan profil pengguna dipetakan, mulai dari hobi hingga kebiasaan belanja.
Ridwan juga mengingatkan tentang fenomena filter bubble, di mana algoritma AI menyajikan informasi sesuai preferensi pengguna, sehingga mengurangi objektivitas.
“Penyuka seseorang akan terus mendapat informasi positif tentangnya, sementara pembenci mendapat informasi negatif, hingga kehilangan objektivitas, bahkan di kalangan akademisi,” ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti risiko bias dan hallucination pada AI seperti ChatGPT, di mana informasi yang dihasilkan bisa salah atau bahkan dibuat-buat, seperti referensi fiktif yang tampak nyata. “Verifikasi dengan ilmu pengetahuan kita tetap penting,” tegasnya.
Dampak lain yang disoroti Ridwan adalah ketergantungan epistemik, di mana manusia cenderung mempercayai AI secara berlebihan, hingga mengurangi kemampuan berpikir kritis.
Ia mencontohkan mahasiswa yang menggunakan AI untuk menjawab ujian atau dosen yang menyelesaikan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dalam hitungan jam. “AI memang mempercepat, tapi tanpa verifikasi, kita bisa kehilangan nalar kritis,” katanya.
Ia juga mencatat disrupsi sosial, seperti hilangnya 80 juta pekerjaan akibat otomatisasi, meskipun akan muncul 150 juta pekerjaan baru yang membutuhkan keterampilan AI.
Etika Berinteraksi dengan AI
Dalam konteks etika, Ridwan menyinggung kasus diskriminasi oleh AI, seperti sistem perekrutan di Amerika yang hanya menerima kandidat kulit putih karena data pelatihan yang bias. Ia juga memperingatkan ancaman privasi data dan potensi “pembusukan otak” (brain rot) akibat ketergantungan berlebihan pada AI dan media sosial.
Untuk itu, ia mendorong pengembangan explainable AI (XAI), di mana model AI harus transparan soal sumber data dan tujuannya. Ridwan menegaskan bahwa AI tidak dapat dihindari, namun manusia harus beradaptasi dengan bijak tanpa kehilangan jati diri.
“Kita harus membangun literasi budaya digital, memperkuat nilai-nilai lokal seperti desain batik dengan bantuan AI, dan menjadikan AI sebagai copilot, bukan pengganti manusia,” ujarnya.
Ia juga mengajak untuk menciptakan keseimbangan, termasuk dengan konsep AI-free zone di mana manusia tetap mengedepankan nalar dan interaksi tanpa teknologi.
Sebagai penutup, Ridwan menegaskan bahwa AI tidak hanya mengubah alat, tetapi juga cara berpikir dan hidup.
“Manusia harus tetap menjadi subjek, bukan objek yang digerakkan algoritma. Dengan literasi digital, etika, dan penalaran kritis, kita bisa mengarahkan AI untuk kemanusiaan dan nilai-nilai luhur,” tuturnya.