Menjelang tanggal 17 Agustus, frasa “merdeka” selalu memenuhi ruang percakapan kita. Banyak orang mengira bahwa kemerdekaan identik dengan kebebasan. Seolah kebebasan adalah puncak dari segala perjuangan.
Padahal, tidak semua kebebasan adalah tanda kemerdekaan. Bahkan, kebebasan yang dilepaskan dari tanggung jawab bisa menabrak hak orang lain dan justru menjadi bentuk baru dari penindasan.
Dengan alasan yang kurang lebih itulah kita perlu memikirkan ulang makna kemerdekaan itu sendiri.
Dalam pandangan Islam, kemerdekaan bukan berarti bebas tanpa batas. Islam tidak mengenal kebebasan yang liar, yang berdiri di luar batas nilai dan hukum. Sebaliknya, Islam memandang bahwa kemerdekaan adalah saat manusia tidak lagi diperbudak oleh rasa takut. Entah itu takut kepada sesama manusia, tekanan, kekuasaan, atau bahkan kepada pandangan orang lain.
Rasa takut adalah bentuk penindasan yang paling halus. Ia tak terlihat, tapi bisa membungkam. Ia membuat seseorang menahan kata, langkah, dan pilihan. Ketika rasa takut menguasai, maka kebebasan pun menjadi semu. Dan selama rasa takut masih hidup dalam jiwa manusia, maka sejatinya kemerdekaan belum sepenuhnya hadir.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk tidak takut kepada makhluk, tetapi hanya kepada Allah. Dalam Surah Ali Imran ayat 175, Allah berfirman:
اِنَّمَا ذٰلِكُمُ الشَّيْطٰنُ يُخَوِّفُ اَوْلِيَاۤءَهٗۖ فَلَا تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya. Oleh karena itu, janganlah takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang mukmin.”
Menurut Ibn ‘Arabi, ketika menafsirkan Ali Imran ayat 173-178, rasa takut kepada selain Allah muncul karena seseorang terhijab oleh dirinya sendiri (al-maḥjūbīn bi-anfusihim), sehingga hatinya tertutup dan tidak mampu menyaksikan kenyataan yang sejati. Ia masih mengira bahwa makhluk memiliki kekuatan mandiri, padahal sejatinya tidak.
Ketakutan itu lahir dari keterikatan pada sebab-sebab lahiriah dan ketidakhadiran pandangan tauhid yang utuh. Sejatinya, orang yang mengenal Allah sebagai al-wujūd al-ḥaqqānī (keberadaan yang sejati/hakiki) tahu bahwa semua makhluk hanyalah perantara, dan yang benar-benar berkuasa hanyalah Allah.
Maka, ketakutan sejati hanya kepada Allah, bukan kepada manusia, harta, kekuasaan, atau apa pun selain-Nya. Karenanya, ayat ini menunjukkan bahwa rasa takut harus diarahkan pada tempat yang benar. Ketakutan yang tepat justru melahirkan ketenangan, bukan kegelisahan.
Kita bisa belajar arti kemerdekaan sejati dari kisah Nabi Musa. Bayangkan seorang manusia, diperintahkan untuk berdiri sendirian menghadapi kekuasaan paling kejam di zamannya: Fir‘aun. Ia bukan sekadar raja; ia adalah simbol dari ketakutan itu sendiri.
Musa tahu risiko itu. Ia tahu Fir‘aun bisa menangkap, menyiksa, bahkan membunuhnya. Dan seperti manusia pada umumnya, Musa juga sempat merasa takut.
Al-Qur’an menggambarkan rasa takut itu dengan jujur. Ia merasa gentar ketika para penyihir melemparkan tali-tali mereka. Ia pernah keluar dari kota dalam keadaan khawatir, menengok ke belakang. Bahkan, sebelum menuju Fir‘aun, berdasarkan QS Thaha ayat 46, Allah langsung menguatkan hatinya:
قَالَ لَا تَخَافَآ اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى
“Dia (Allah) berfirman: Jangan takut. Sesungguhnya Aku bersama kalian, Aku mendengar dan melihat.”
Menurut tafsir al-Qurṭubī, ini menunjukkan bahwa rasa takut itu manusiawi, bahkan para nabi dan wali pun merasakannya (al-khawfu min al-aʿdāʾ sunnatu Allāhi fī anbiyāʾihi wa-awliyāʾihi). Tapi, di titik itulah letak ujian yang sejati.
Musa tidak menjadikan ketakutannya sebagai alasan untuk membatalkan tugas sucinya. Ia berjalan terus, karena tahu bahwa yang bersamanya adalah Allah.
Dari kisah ini kita paham: merdeka bukan berarti tidak pernah takut. Tapi merdeka adalah ketika kita tidak dikuasai oleh rasa takut itu. Ketika kita tetap melangkah, karena percaya bahwa yang melindungi kita lebih kuat dari apa pun yang kita hadapi.
Namun penting dipahami: tidak takut bukan berarti selalu berani. Takut adalah bentuk kehati-hatian yang muncul dari kesadaran akan bahaya. Sementara keberanian kadang justru muncul sebagai dorongan untuk menerobos bahaya. Jika tak disertai keimanan dan kejernihan, keberanian bisa berubah menjadi gegabah.
Tidak salah kiranya bila dikatakan bahwa orang merdeka bukanlah yang nekat, melainkan yang tenang. Ia tidak dikuasai ketakutan, tapi juga tidak dikuasai oleh dorongan sesaat untuk “melawan”. Ia memilih langkahnya dengan keyakinan, bukan dengan dorongan adrenalin.
Kisah serupa juga tampak dalam perjalanan hijrah Nabi Muhammad Saw bersama Abu Bakar. Ketika keduanya bersembunyi di Gua Tsur, pasukan Quraisy sudah sangat dekat hingga bisa saja menemukan mereka. Dalam kondisi seperti itu, rasa takut adalah hal yang wajar.
Bahkan Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, jika salah satu dari mereka menundukkan pandangan, niscaya mereka akan melihat kita.”
Namun Rasulullah Saw menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan:
ما ظَنُّكَ يا أبا بكرٍ باثنينِ اللهُ ثالثُهُما
“Bagaimana menurutmu wahai Abu Bakar terhadap dua orang yang bersama mereka ada Allah sebagai yang ketiga?” (HR. Bukhari no. 3653, Muslim no. 2381).
Ayat Al-Qur’an pun mengabadikan peristiwa ini dalam Surah At-Taubah ayat 40:
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Dari kisah ini, tampak jelas bahwa Nabi Saw benar-benar menyerahkan urusannya kepada Allah, yakin bahwa tidak ada yang bisa mencelakakan dirinya kecuali dengan izin-Nya. Inilah puncak dari tawakal dan iman: menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah, bahkan ketika semua hal lahiriah tampak menakutkan.
Karena itu, mari kita rayakan kemerdekaan ini dengan melepaskan diri dari rasa takut yang tidak pada tempatnya. Bukan dengan menjadi berani secara gegabah, tetapi dengan menumbuhkan ketenangan yang lahir dari keyakinan.
Keyakinan bahwa selama kita bersama Allah, tidak ada kekuatan mana pun yang patut ditakuti.
Referensi:
Al-Qurṭubī, Al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, editor: Aḥmad al-Bardūnī wa-Ibrāhīm Aṭfīsh, Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1384 H / 1964 M.
Ibn ʿArabī, Tafsīr al-Qurʾān, https://www.altafsir.com/Tafasir.asp?tMadhNo=3&tTafsirNo=33&tSoraNo=3&tAyahNo=175&tDisplay=yes&UserProfile=0&LanguageId=1, diakses pada Kamis, 07 Agustus 2025.