MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustadz Fathurrahman Kamal, menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Al-Musannif, Tabligh Institute Muhammadiyah, pada Jumat (15/8).
Dalam khutbahnya, ia menegaskan bahwa Islam memandang kemerdekaan sebagai anugerah ilahi yang bersifat menyeluruh, meliputi aspek teologis, sosial, politik, ekonomi, hingga spiritual.
Mengawali khutbah, Fathurrahman mengajak jamaah untuk bersyukur atas nikmat kemerdekaan bangsa Indonesia yang tahun ini memasuki usia ke-80.
Menurutnya, kemerdekaan harus selalu menguatkan ketakwaan dalam diri umat. Ia menegaskan pesan Rasulullah Saw bahwa ketakwaan terletak di dalam hati, sambil mengingatkan jamaah tentang pentingnya merawat kesadaran spiritual sebagai landasan kemerdekaan sejati.
Lebih lanjut, Fathurrahman menjelaskan empat asas mendasar dalam pandangan Islam mengenai kemerdekaan.
Pertama, karāmatul insān atau kemuliaan manusia sebagai makhluk Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam QS. At-Tīn [95]: 4, “Laqad khalaqnā al-insāna fī aḥsani taqwīm” (Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya), dan QS. Al-Isrā’ [17]: 70, “Walaqad karramnā banī Ādam” (Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam).
Kedua, kemerdekaan bersumber dari fitrah manusia sejak alam azali, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rūm [30]: 30, “Fa-aqim wajhaka liddīni ḥanīfa, fiṭratallāhi allatī faṭara an-nāsa ‘alaiha, lā tabdīla likhalqillāh” (Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu; tidak ada perubahan pada ciptaan Allah).
Ketiga, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Insān [76]: 3, “Innā hadaināhus-sabīla immā syākiran wa-immā kafūrā” (Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur), dan QS. Al-Kahf [18]: 29, “Faman syā’a falyu’min waman syā’a falyakfur” (Maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir).
Keempat, tauhid sebagai asas pembebasan dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah. Fathurrahman mengutip pesan sahabat Nabi, bahwa umat Islam diutus “linukhrija al-‘ibāda min ‘ibādati al-‘ibād ilā ‘ibādati rabb al-‘ibād” (untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan kepada Rabb manusia).
Hal ini juga ditegaskan dalam QS. An-Naḥl [16]: 36, “Wa laqad ba‘aṡnā fī kulli ummatin rasūlan ani‘budullāha wa-ijtanibū al-ṭāghūt” (Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul kepada setiap umat, untuk menyerukan: sembahlah Allah dan jauhilah thaghut).
Dalam khutbahnya, Fathurrahman juga menekankan bahwa Islam menjamin kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang akidah, Al-Qur’an menegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 256, “Lā ikrāha fī d-dīn” (Tidak ada paksaan dalam agama).
Dalam aspek ilmu pengetahuan, Islam mendorong umat untuk selalu melakukan tabayyun dalam menerima informasi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6, “Yā ayyuhalladzīna āmanū in jā’akum fāsiqun binaba’in fatabayyanū” (Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya).
Sedangkan dalam kehidupan sosial, Islam mengatur adab menjaga privasi dan larangan melanggar kebebasan orang lain, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nūr [24]: 27, “Yā ayyuhalladzīna āmanū lā tadkhulū buyūtan ghaira buyūtikum ḥattā tasta’nisū wa tusallimū ‘alā ahlihā” (Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya).
Islam juga mengharamkan gibah, fitnah, serta tajasus (memata-matai).
Kemerdekaan juga mencakup aspek perlindungan terhadap jiwa dan kehormatan. Islam, katanya, menolak segala bentuk perbudakan. Umar bin Khattab pernah menegur keras, “Bagaimana kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan merdeka dari rahim ibu mereka?”
Bahkan, dalam hukum Islam, terdapat kewajiban untuk memerdekakan budak sebagai kafarat (penebus dosa), sebagaimana disebut dalam QS. Al-Mujādilah [58]: 3, “…fa taḥrīru raqabatin” (…maka wajib memerdekakan seorang budak).
Selain itu, Islam juga memberikan prinsip kemerdekaan ekonomi. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275, Allah mengharamkan praktik riba, “Wa aḥalla Allāhu al-bai‘a wa ḥarrama al-ribā” (Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Dalam aspek politik, Al-Qur’an mengajarkan musyawarah sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syūrā [42]: 38, “Wa amruhum syūrā bainahum” (Urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka).
Fathurrahman menutup khutbah dengan menegaskan bahwa kemerdekaan dalam Islam bersifat holistik, tidak hanya terkait aspek material, tetapi juga spiritual. “Kemerdekaan sejati bersendikan pada tauhid, pilihan ikhtiar yang bertanggung jawab, serta visi menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagaimana prinsip maqāṣid asy-syarī‘ah,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa Islam memberikan ruang kebebasan berakidah, ekonomi yang adil, politik yang musyawarah, serta kebebasan menjaga martabat pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Di akhir khutbah, Fathurrahman mengajak jamaah berdoa agar bangsa Indonesia senantiasa diberkahi kesehatan, keamanan, serta para pemimpinnya selalu mendapat hidayah untuk menunaikan amanah dengan benar.