MUHAMMADIYAH.OR.ID, DEPOK— Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta, Ustaz Nur Fajri Romadhon, membawakan kajian bertajuk “Apakah Sains Menihilkan Eksistensi Tuhan?”
Dengan fokus mengupas hubungan antara sains dan keimanan, khususnya terkait konsep God of the Gaps, pengajian spesial ini diselenggarakan di Yayasan BISA pada Senin (11/08).
Ustaz Nur Fajri menjelaskan bahwa konsep “God of the Gaps” sering kali dipahami keliru. Konsep ini merujuk pada kecenderungan menyerahkan semua yang tidak kita pahami kepada Tuhan, tanpa berupaya mencari sebab-musababnya.
Padahal, meskipun umat Islam meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, Islam juga mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab. Karena itu, ketika mengalami kegagalan, manusia diperintahkan untuk mencari penyebabnya; dan ketika meraih keberhasilan, proses yang mengantarkannya harus dipelajari agar bisa diulang.
Ia mencontohkan fenomena alam seperti hujan atau petir. Di masa lalu, sebagian masyarakat mengaitkan petir dengan kemarahan dewa, seperti Zeus dalam mitologi Yunani. Namun seiring perkembangan sains, petir dapat dijelaskan sebagai reaksi elektromagnetik di udara.
Penjelasan ini, tegasnya, sama sekali tidak menghapus peran Tuhan. Sains hanya menjawab how atau “bagaimana”, sementara why atau “mengapa” tetap berpulang pada Tuhan sebagai sebab utama di balik segala fenomena.
Dalam pemaparannya, Ustaz Nur Fajri juga menekankan bahwa klaim bahwa sains menegasikan Tuhan tidak pernah lahir dari penelitian saintifik. Menurutnya, pernyataan semacam itu adalah klaim filosofis yang tidak bisa diuji di laboratorium, teleskop, atau mikroskop.
Sama seperti tidak semua ucapan seorang ustaz bersifat islami, tidak semua yang diucapkan seorang saintis otomatis saintifik. Sains, pada hakikatnya, hanya mengkaji hal-hal yang dapat diindra, sedangkan Tuhan berada di luar ranah empiris.
Ia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa ruang lingkup sains terbatas pada alam semesta. Dalam akidah Ahlusunnah wal Jamaah, Allah tidak menyatu dengan ciptaan-Nya (bain min khalqih).
Artinya, jika sains hanya meneliti yang ada di alam semesta, mustahil ia bisa menyimpulkan bahwa Tuhan tidak ada. Ia menganalogikan hal ini dengan seseorang yang menggunakan metal detector untuk mencari plastik. Pemisalan ini untuk menunjukkan sebuah alat yang digunakan sama sekali tidak relevan dengan objek yang dicari.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu melalui proses bertahap. Al-Qur’an sendiri menyebut bahwa alam semesta diciptakan dalam enam hari. Allah sebenarnya mampu menciptakan seketika, tetapi memilih proses untuk menunjukkan hikmah-Nya.
Justru di sinilah sains berperan: menyingkap proses yang ditetapkan Allah, yang pada gilirannya dapat semakin menguatkan keimanan, bukan melemahkannya. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang hujan yang diawali dengan penggerakan awan atau tentang penciptaan manusia dari tanah hingga menjadi daging adalah contoh nyata bahwa Allah bekerja melalui mekanisme yang dapat dipelajari.
Ustaz Nur Fajri menegaskan bahwa Islam sama sekali tidak memusuhi sains. Yang ditolak adalah paham saintisme, materialisme, dan positivisme. Pandangan-pandangan ini yang membatasi pengetahuan hanya pada hal-hal empiris.
Padahal, sains sendiri menggunakan unsur non-empiris seperti angka, logika, dan asumsi. Jika hal-hal non-empiris ini dapat diterima dalam sains, tidak ada alasan untuk menolak keyakinan Islam terhadap hal gaib yang didukung oleh bukti logis, pengalaman inderawi, dan kesaksian yang dapat dipercaya.
Ia menyinggung pula teori-teori yang berusaha menjelaskan asal-usul alam semesta tanpa Tuhan, seperti multiverse atau quantum fluctuation. Menurutnya, teori multiverse tidak dapat diuji secara ilmiah sehingga tidak bisa disebut saintifik.
Bahkan teori evolusi, apabila benar, tetap memerlukan presisi luar biasa yang menunjukkan adanya desain cerdas di baliknya. Ia mengingatkan bahwa Charles Darwin sendiri pernah menyatakan bahwa keindahan dan keteraturan dalam proses evolusi justru dapat menjadi bukti kebesaran Tuhan.
Menjelang akhir kajian, Ustaz Nur Fajri mengajak peserta membedakan antara how dan why. Sains dapat menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi, tetapi pertanyaan mengapa sesuatu itu ada hanya bisa dijawab oleh agama. Mengapa manusia hidup di dunia ini? Islam memberikan jawabannya: untuk beribadah kepada Allah.
Ia mencontohkan hadis Nabi tentang wabah penyakit yang dapat menjadi hukuman, rahmat, atau ujian. Satu peristiwa bisa memiliki makna why yang beragam tanpa bertentangan dengan penjelasan how dari sains.
Ia juga mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak pada “God of the Gaps” yang membuat malas menuntut ilmu, namun sekaligus menghindari “science of the gaps” yang menempatkan sains sebagai jawaban mutlak untuk segala hal.
Islam, tegasnya, mengajarkan keseimbangan: berdoa, berusaha, dan bertawakal. Dalam pandangan Islam, ruqyah dan pengobatan medis bukan dua hal yang saling menegasikan, melainkan saling melengkapi.