Di sebuah kampung di pesisir Bengkulu, seorang lelaki paruh baya menghembuskan napas terakhirnya. Keluarga dan tetangga berkumpul di rumah duka. Isak tangis terdengar.
Namun di sela-sela suasana haru, seorang tokoh kampung mengajukan pertanyaan yang jarang muncul di telinga orang awam: “Apakah almarhum punya hutang?”
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Dalam Islam, hutang bukan sekadar urusan pribadi antara dua orang. Ia adalah janji yang mengikat, yang jika tak diselesaikan di dunia, akan menunggu di akhirat. Rasulullah Saw mengingatkan:
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ. [رواه البخاري]
“Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. al-Bukhari).
Islam memandang, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dilunasi dari harta warisnya sebelum dibagi kepada ahli waris. Allah SWT menegaskan:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“… (Pembagian warisan itu) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya.” [QS. النساء: 11].
Tapi bagaimana jika almarhum tidak meninggalkan cukup harta untuk melunasi hutangnya?
Inilah momen di mana rasa kemanusiaan diuji. Mengambil alih hutang orang lain yang benar-benar tidak mampu adalah perbuatan yang tidak hanya dibenarkan, tapi juga terpuji. Ia bagian dari ta’āwun ‘ala al-birr wa al-taqwā, sebagaimana firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. المائدة: 2].
Rasulullah Saw bahkan menjanjikan balasan besar bagi mereka yang memudahkan urusan orang lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. [رواه مسلم]
“Barangsiapa melapangkan seorang mukmin dari kesusahan di dunia, Allah akan melapangkannya dari kesusahan pada hari kiamat…” (HR. Muslim).
Sejarah mencatat, Nabi Saw pernah enggan menyalatkan jenazah seseorang yang memiliki hutang. Hanya ketika Abu Qatadah, salah seorang sahabat, menyatakan kesanggupan menanggung hutang tersebut, barulah beliau menyalatkannya:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ… قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. [رواه البخاري]
“Diriwayatkan dari Salmah Ibn al-Akwa’… Abu Qatadah berkata: Wahai Rasulullah, saya yang menanggung hutangnya. Kemudian Nabi menyalatkan jenazah itu.” [HR. al-Bukhari].
Pesan dari peristiwa itu jelas: hutang bukan perkara remeh. Ia bisa menghalangi doa, bahkan salat jenazah, jika tak diselesaikan.
Kebiasaan di beberapa daerah di mana keluarga atau kerabat menanggung hutang orang yang wafat adalah praktik yang sejalan dengan ajaran Islam. Karena di dunia, hutang mungkin hanya angka, tapi di akhirat, ia bisa berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan.
Maka, selama masih ada waktu dan kemampuan, segeralah menunaikan janji itu.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hutang Orang Yang Meninggal Dunia”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 4 Tahun 2008