Dalam sebuah negara yang majemuk seperti Indonesia, simbol-simbol kebangsaan memegang peranan krusial sebagai perekat persatuan. Salah satu simbol terpenting adalah Bendera Merah Putih.
Namun, tindakan menghormati atau bahkan mencium bendera kerap kali menimbulkan pertanyaan, terutama dalam perspektif agama Islam: bagaimana hukumnya?
Menjadi warga negara yang baik, yang turut menjaga persatuan dan kesatuan, termasuk dalam ranah muamalah. Ini adalah aspek ajaran Islam yang mengatur hubungan antarmanusia dan kehidupan sosial.
Apabila tindakan ini dilandasi niat baik untuk memperkuat persatuan dan menghindari perpecahan, maka perilakunya bisa bernilai ibadah yang didorong oleh akhlak mulia. Ini sejalan dengan prinsip bahwa amal perbuatan baik dapat memiliki dimensi spiritual.
Bendera Merah Putih, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 35, adalah simbol persatuan bangsa. Menghormatinya, dalam konteks kenegaraan, adalah bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap simbol tersebut, bukan sebagai zat yang disembah, melainkan sebagai representasi dari negara dan bangsa Indonesia.
Perbuatan “menghormati” dapat dilakukan dalam berbagai cara, seperti berdiri tegak, memberi hormat, hingga mencium. Dalam Islam, tindakan mencium atau menghormati bukan selalu berarti penyembahan.
Contohnya adalah mencium Hajar Aswad saat tawaf. Tindakan ini merupakan bagian dari ibadah haji yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, namun esensinya adalah mengikuti sunah, bukan menyembah batu itu sendiri.
Dengan demikian, terdapat ‘illah’ atau ‘alasan hukum’ yang sama antara mencium Hajar Aswad dan menghormat bendera, yaitu perbuatan menghormati, meski dilakukan dalam konteks yang berbeda. Masalah baru akan muncul jika niat di baliknya menyimpang, yaitu mengarah pada kemusyrikan. Di sinilah letak pentingnya meluruskan niat, sesuai kaidah fikih yang berbunyi:
اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya.”
Kaidah ini menegaskan bahwa nilai suatu perbuatan sangat bergantung pada niat di baliknya. Jika niat menghormat bendera semata-mata sebagai bentuk penghargaan terhadap simbol persatuan dan kesatuan bangsa, maka tindakan ini tidak menyentuh ranah akidah yang mengarah pada syirik.
Analogi lain yang relevan adalah kisah sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam AS, sebagaimana firman Allah SWT:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur …” [QS. Al-Baqarah, 2: 34]
Sujud dalam ayat ini bukanlah sujud dalam arti menyembah, melainkan sujud sebagai bentuk penghormatan. Para malaikat diperintahkan untuk menunjukkan penghormatan kepada Adam sebagai khalifah di bumi.
Ini membuktikan bahwa sebuah perbuatan, seperti sujud, dapat memiliki makna yang berbeda tergantung pada niat dan konteksnya. Sujud ibadah hanya dipersembahkan kepada Allah SWT, sedangkan sujud penghormatan, seperti yang dilakukan malaikat, diperbolehkan atas perintah-Nya.
Dengan demikian, menghormat atau mencium bendera adalah tindakan yang berada dalam ranah muamalah, yaitu interaksi sosial dan kewarganegaraan. Selama niat di baliknya adalah untuk menghargai simbol persatuan bangsa dan tidak ada unsur penyembahan atau penyelewengan akidah, maka hukumnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Bolehkah Mencium dan Hormat pada Bendera?” dalam https://tarjih.or.id/bolehkah-mencium-dan-hormat-pada-bendera/, diakses pada Sabtu, 09 Agustus 2025.