MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Akhmad Arif Rifan, menyampaikan pengajian dalam acara Pengajian Malam Selasa di Yogyakarta, Senin (11/08).
Dalam ceramahnya, ia mengupas peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam, terutama terkait hijrah Nabi Muhammad SAW serta peristiwa besar yang terjadi di bulan Safar, sekaligus pelajaran berharga yang bisa diteladani umat Islam.
Akhmad Arif Rifan menegaskan bahwa meskipun bulan Muharram sering dikaitkan dengan hijrah, sebenarnya Rasulullah SAW berhijrah pada bulan Safar, tepatnya tanggal 27 Safar tahun ke-14 kenabian, bertepatan dengan 12 atau 13 September 622 M.
Hijrah, jelasnya, bukan sekadar perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah, melainkan transformasi total dalam iman dan kehidupan. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada lagi hijrah setelah Fathu Makkah, melainkan jihad dan niat baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna hijrah meluas hingga meninggalkan dosa, memperbaiki diri, dan berpindah dari lingkungan yang buruk menuju yang lebih baik. “Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang Allah,” tegasnya, mengutip hadis riwayat Muslim.
Ia juga mengulas berbagai peristiwa di bulan Safar, mulai dari pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah RA hingga Perang Khaibar. Menurut Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, Perang Khaibar terjadi di bulan Muharram. Namun, sejarawan Muhammad ibn Umar al-Waqidi dalam al-Maghazi menyebut peristiwa itu berlangsung di bulan Safar selama dua pekan.
Perang Khaibar menunjukkan strategi cerdas Rasulullah SAW. Dengan hanya 1.600 pasukan, beliau mampu menaklukkan 9.500 musuh Yahudi Khaibar. Salah satunya dengan memilih jalur tengah, memutus akses bantuan antara Khaibar dan suku Ghafan.
Dari Khaibar, lahir banyak teladan. Salah satunya kisah seorang penggembala Yahudi yang masuk Islam setelah bertemu Rasulullah. Meski belum sempat salat, ia ikut berjuang dan gugur sebagai syahid.
“Ini menunjukkan kebaikan tidak boleh ditunda. Ia langsung berjuang dan mendapat karunia besar dari Allah,” jelas Akhmad Arif Rifan.
Ia juga menyinggung kisah pengkhianatan Yahudi Khaibar yang meracuni daging kambing untuk Rasulullah SAW. Meski Rasulullah selamat, sahabat Bisyir bin al-Bara’ meninggal akibat racun itu.
Dari sini, umat belajar tentang kewaspadaan dan keadilan, seperti ditunjukkan Abdullah bin Rawahah RA dari suku Khazraj. Saat disuap untuk memalsukan laporan panen, ia menegaskan: “Kebencianku tidak akan membuatku berlaku tidak adil.”
Sikap itu membuat Yahudi kagum pada akhlak Islam.
Setelah hijrah, Rasulullah SAW segera membangun fondasi umat di Madinah melalui tiga langkah besar: membangun Masjid Nabawi, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, serta menyusun perjanjian internal umat Islam.
Masjid, katanya, tidak sekadar tempat ibadah, melainkan pusat pendidikan dan persatuan. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berangkat ke masjid untuk salat berjamaah, setiap langkahnya menghapus satu dosa dan mengangkat satu derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Persaudaraan Muhajirin dan Anshar pun menjadi teladan keikhlasan. Al-Qur’an menggambarkan: “Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka, meskipun mereka sendiri dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9).
Kisah hijrah juga melibatkan tokoh-tokoh penting, seperti Zubair bin Awwam RA dan istrinya, Asma binti Abu Bakar RA. Asma berperan besar dengan mengantarkan makanan ke Gua Tsur saat Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi. Dari keluarga ini lahir Abdullah bin Zubair, yang kemudian menjadi pejuang gigih hingga gugur sebagai syahid.
“Abdullah bin Zubair tumbuh dari keluarga yang penuh teladan: ibunya mendukung hijrah, ayahnya sahabat yang dijanjikan surga, dan kakeknya Abu Bakar adalah sahabat terdekat Rasulullah,” jelasnya.
Menutup pengajian, Akhmad Arif Rifan menekankan bahwa hijrah harus dipahami sebagai semangat transformasi menuju kebaikan.
“Siapa yang ingin bahagia dan selamat, harus mengikuti petunjuk Rasulullah, mengenal sirahnya, dan meneladani akhlaknya,” tuturnya.