Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) khususnya sektor pendidikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) dengan total 163 perguruan tinggi terdiri atas 89 Universitas, 41 Sekolah Tinggi, 1 Akademi, 27 Institut, dan 5 Politeknik. Hal ini menandakan bahwa Muhammadiyah telah memberikan dampak bagi kebermanfaatan umat, dengan sebaran PTMA di seluruh daerah di Indonesia, bahkan sampai ke manca negara.
PTMA di wilayah tertentu memiliki keunikannya tersendiri, seperti Muhammadiyah Kupang, dan IKIP Muhammadiyah Maumere serta Universitas Muhammadiyah Sorong, dimana beberapa mahasiswa dan dosen berlatar belakang sebagai non-muslim. Belum lagi yang baru-baru ini viral dari wisudawati Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Laura Amandasari yang notabene sebagai mahasiswa Kristen Protestan, mengungkapkan rasa haru atas kampusnya yang menjadikan toleransi sebagai praktik nyata. (Lihat 1)
Ragam fenomena multikultural ini lazimnya pasti terjadi dikarenakan negara yang kaya akan suku, budaya, ras, agama dan bahasa sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara multikultural terbesar di dunia. Lalu, pertanyaannya, apakah boleh guru yang non-muslim mengajar di sekolah Muhammadiyah? juga pertanyaan ini berlaku kepada Siswa/Mahasiswa non-muslim yang mengenyam pendidikan di PTMA.
Dalam putusan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, sebagaimana yang telah dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah edisi 03 Tahun 2022, menghimbau bahwa para civitas akademika di lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah, mulai dari stakeholder hingga jajaran di bawahnya hendaknya menjadi teladan dan contoh dalam kebaikan, khususnya bagi guru non-muslim sebagai manifestasi dakwah bil-hal.
Juga, hal ini tertera dalam Qs Al-Mumtahanah (60) Ayat 8. Ayat ini menjelaskan tentang dibolehkannya bagi umat muslim untuk berinteraksi dengan non-muslim, selama mereka tidak memusuhi agama dan umat muslim.
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Qs Al-Mumtahanah (60) Ayat 8).
Dalam konteks sejarah kemenangan umat Islam dalam perang Badar, Nabi Muhammad SAW memberi kesempatan kebebasan kepada beberapa kelompok dari tawanan perang, dengan syarat ketersediaan para tawanan perang untuk mengajarkan umat Islam membaca dan menulis. Hal ini membuktikan bahwa implementasi akan inklusifitas telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahkan dalam situasi pasca perang.
Fenomena ini yang disebut oleh Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai persoalan muamalah, lebih jelasnya umat muslim diperbolehkan untuk berinteraksi dengan non-muslim selama hal itu memberikan manfaat antar satu sama lain, dan di luar konteks ibadah dan akidah. Berdasarkan kaidah fiqhiyah:
“Pada dasarnya (hukum) segala sesuatu (muamalah) itu adalah boleh, sampai ada dalil (lain) yang menunjukan sebaliknya (keharamannya)”
Mengenal Batasan sebagai Penghargaan atas Perbedaan
Majelis Tarjih dan Tajdid secara tegas memperbolehkan guru non-muslim untuk mengajar di sekolah Muhammadiyah jika memang kekurangan sumber daya manusia, namun selagi ada guru muslim yang sanggup untuk mengajar alangkah baiknya bisa lebih di prioritaskan.
Andai kata guru non-muslim tersebut menjadi jalan terbaik bagi instansi sekolah, maka sejatinya ada batasan-batasan yang jelas agar tidak menciptakan sesuatu yang tidak diinginkan, tentu dengan batasan-batasan yang inklusif. Batasan-batasan yang harus dilakukan diantaranya;
Pertama, bagi guru wanita dalam aturan berbusana, walaupun diperbolehkan tidak menggunakan jilbab akan tetapi tetap berpakaian sopan dan tertutup rapi, tidak mengenakan pakaian ketat dan transparan. Alangkah baiknya aturan perihal busana diinformasikan sejak awal agar terjalinnya kemaslahatan dari kedua belah pihak.
Kedua, tidak menggunakan atribut yang mengandung unsur simbolik, atau pernak-pernik yang menyasar pada identitas agama tertentu, seperti kalung salib dan sejenisnya. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan rasa nyaman bagi civitas akademika dan murid di sekolah Muhammadiyah.
Ketiga, materi yang diajarkan oleh guru non-muslim merupakan materi-materi umum seperti matematika, fisika, kimia, keterampilan, yang artinya tidak disarankan untuk materi yang bersinggungan dengan agama dan keyakinan.
Terakhir, diupayakan agar selalu melakukan evaluasi dan pembinaan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Referensi:
Majalah Suara Muhammadiyah edisi 03, Februari 2022
https://wartaptm.id/kampus-muhammadiyah-resmi-tambah-jumlah-universitas/