MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam ceramahnya di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Ahad (10/08), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DI Yogyakarta, M. Husnaini, mengajak jemaah untuk merenungkan cara berinteraksi yang baik dengan Al-Qur’an.
Dalam paparannya, Husnaini menyoroti fenomena yang mengkhawatirkan sekaligus menginspirasi, yaitu banyaknya anak-anak penghafal Al-Qur’an yang belum memahami makna dan tafsir ayat-ayat yang dihafalnya.
Husnaini memulai dengan mengutip hasil riset seorang profesor yang meneliti fenomena anak-anak di sekolah atau pesantren tahfidzul Quran. “Banyak anak yang hafal 5 juz, 15 juz, bahkan 30 juz, tetapi ketika ditanya makna surat-surat pendek, mereka tidak tahu artinya, apalagi tafsirnya,” ungkapnya.
Ia membandingkan fenomena ini dengan kebiasaan sebagian umat Islam yang telah menjalankan salat selama puluhan tahun, namun tidak memahami arti bacaan seperti “Rabbānā wa laka al-ḥamd” atau selawat.
Menurutnya, ini mencerminkan interaksi yang kurang mendalam dengan Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an adalah petunjuk hidup umat Islam.
Empat Tahapan Berinteraksi dengan Al-Qur’an
Husnaini menjelaskan empat tahapan interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an, yang menjadi inti dari ceramahnya:
Pertama, tilāwah. Membaca Al-Qur’an dengan tartil sesuai kaidah tajwid, makharijul huruf, dan gharib, meskipun tanpa memahami artinya.
“Membaca satu huruf Al-Qur’an mendatangkan 10 kebaikan,” katanya, mengutip sabda Nabi Muhammad SAW. Tilawah adalah tahapan paling sederhana, yang banyak dilakukan umat Islam, termasuk saat Ramadan, ketika bacaan Al-Qur’an meningkat hingga satu juz atau lebih sehari.
Kedua, qirā’ah. Membaca Al-Qur’an sambil memahami terjemahannya, meskipun tanpa bersuara.
Husnaini menceritakan pengalamannya saat menempuh S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM), di mana ia menemukan berbagai terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia, Cina, Afrika, dan lainnya.
“Qiraah ini penting karena tidak semua umat Islam paham bahasa Arab. Membaca terjemahan membantu memahami makna ayat,” jelasnya.
Ketiga, tadārus. Membaca Al-Qur’an dengan mempelajari tafsir dan asbāb al-nuzūl (latar belakang turunnya ayat) serta mendiskusikan maknanya.
Tadarus tidak dilakukan sendirian, melainkan melibatkan diskusi untuk menggali pesan ayat. “Dengan tadarus, kita tidak salah paham, seperti memahami ‘al-fitnatu asyaddu mina al-qatl’ yang sering diterjemahkan sebagai fitnah, padahal konteksnya berbeda,” ungkap Husnaini.
Keempat, tadabbur. Membaca Al-Qur’an untuk mencari solusi atas permasalahan kehidupan, seperti pembagian waris atau pemahaman tentang kehidupan setelah kematian.
“Tadabur membuat Al-Qur’an menjadi petunjuk nyata, bukan hanya bacaan yang mendatangkan pahala,” tegasnya.
Inspirasi dari KH. Ahmad Dahlan
Husnaini mencontohkan pendekatan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Menurutnya, KH. Ahmad Dahlan tidak hanya membaca Al-Qur’an dengan tartil (tilāwah), tetapi juga memeriksa terjemahan (qirā’ah), mempelajari tafsir (tadārus), dan mengamalkan ayat-ayatnya (tadabbur).
Beliau selalu bertanya, “Jika ayat ini berisi perintah, apakah saya sudah melaksanakannya? Jika larangan, apakah saya sudah meninggalkannya?”
Salah satu contoh nyata adalah pengamalan surat Al-Ma’un. KH. Ahmad Dahlan memahami surat ini sebagai perintah untuk peduli kepada fakir miskin dan anak yatim.
“Beliau tidak hanya membaca Al-Ma’un berulang-ulang, tetapi mengamalkannya dengan mendirikan amal usaha untuk membantu yang lemah,” jelas Husnaini. Pemahaman ini melahirkan tafsir transformatif, yang menginspirasi pendirian organisasi Muhammadiyah, yang kini berkembang hingga ke 27 negara.
Husnaini juga menyinggung pentingnya organisasi untuk menjaga keberlanjutan gagasan. “KH. Ahmad Dahlan mengorganisir pemikirannya melalui Muhammadiyah. Kalau tidak diorganisir, ide cemerlang akan hilang,” katanya.
Ia menganalogikan hal ini dengan pentingnya mendidik anak-anak hingga pintar, yang merupakan bentuk amal jariah jangka panjang.
Tidak ketinggalan, Husnaini juga mengkritik kebiasaan sebagian umat Islam yang menjadikan Al-Qur’an sekadar ritual, seperti mengundang warga kampung untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dengan bayaran.
“Itu seperti menyewa tenaga kebersihan untuk membersihkan rumah, tapi setelah mereka pulang, rumah kembali kotor karena kita tidak menjaga,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa interaksi sejati dengan Al-Qur’an harus dilakukan sendiri, meski hanya satu atau dua ayat, dengan memahami dan mengamalkannya.
Husnaini mengajak jemaah untuk meningkatkan interaksi dengan Al-Qur’an dari tilawah menuju qiraah, tadarus, hingga tadabur. Ia menekankan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang relevan untuk menjawab tantangan zaman, mulai dari masalah waris hingga orientasi kehidupan akhirat.