MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhamad Rofiq Muzakkir, menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Mazhab Ciputat dalam forum Klub Kajian Buku pada Senin (05/08).
Dalam forum yang dihadiri berbagai kalangan akademisi dan mahasiswa itu, Rofiq menyampaikan gagasan penting tentang dekolonisasi pengetahuan dan urgensi menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam sebagai bagian dari perlawanan terhadap penjajahan epistemik.
Dalam paparannya, Rofiq menjelaskan bahwa dekolonisasi bukan semata proses politik, tetapi juga perlawanan terhadap dominasi pengetahuan Barat yang memosisikan Eropa sebagai pusat peradaban dan puncak evolusi umat manusia.
Ia mengutip jejak sejarah antropologi era Victoria, khususnya pemikiran Edward Taylor, yang menggambarkan masyarakat non-Barat sebagai primitif dan belum berkembang. Pandangan seperti ini, menurutnya, membentuk kerangka Eurosentrisme yang hingga kini masih tertanam dalam sistem pengetahuan global.
Dominasi tersebut, lanjut Rofiq, bukan hanya pada tingkat asumsi dasar tentang manusia, alam, atau akhirat, tetapi juga dalam metode riset, lembaga akademik, hingga struktur distribusi ilmu pengetahuan.
Ia menyoroti bagaimana pendekatan filologis dalam studi Islam cenderung mengabaikan suara masyarakat non-literer, sementara jurnal ilmiah dan sistem pendidikan tinggi di negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat mempersempit akses terhadap pengetahuan.
Dalam sistem seperti itu, karya para ulama muslim hanya dilihat sebagai objek studi, bukan sebagai sumber teori dan analisis. “Ini adalah bentuk kolonialisme epistemik,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Rofiq mengusulkan filsafat ilmu dekolonial, yaitu pendekatan yang menggali kembali warisan filsafat Islam klasik seperti pandangan Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ar-Razi tentang ilmu pengetahuan.
Ia menyoroti bahwa kurikulum filsafat ilmu di perguruan tinggi Indonesia masih sangat dominan dengan pemikir Barat seperti Aristoteles atau Thomas Kuhn, dan hampir mengabaikan konsep-konsep epistemologis Islam seperti khabar mutawatir dan khabar ahad.
Menurutnya, konsep-konsep tersebut seharusnya diangkat sebagai bagian dari sistem pengetahuan alternatif yang mengaitkan ilmu dengan etika dan adab, bukan hanya rasionalitas netral.
Lebih jauh, Rofiq menjelaskan bahwa dekolonisasi bukanlah upaya anti-Barat secara total, melainkan usaha mengisi kekosongan epistemik yang ditinggalkan oleh dominasi tunggal. Ia menyebut bahwa kebangkitan kembali tradisi intelektual Islam adalah langkah konstruktif untuk membangun sistem berpikir yang otentik dan kontekstual, tanpa terjebak pada romantisasi masa lalu.
Menghindari Romantisme Masa Lalu
Dalam sesi tanya jawab, Rofiq juga menanggapi pertanyaan seputar risiko romantisasi masa lalu dalam upaya dekolonisasi. Ia menyatakan bahwa tradisi intelektual Islam tidak boleh dianggap sebagai warisan statis, tetapi harus dipahami sebagai manhaj atau metodologi berpikir yang bisa dikontekstualisasikan.
Ia mencontohkan pemikiran Ibnu Khaldun yang sarat dengan semangat etis dan analisis sosial, bukan sekadar fakta sejarah yang tak berubah. “Kita perlu mengabstraksikan semangat etis dari pemikiran ulama masa lalu, bukan menerima apa adanya,” ujar Rofiq.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua warisan intelektual layak untuk dilestarikan. Ia mencontohkan disertasinya yang mengkaji konsep at-taghallub (kudeta militer) dalam literatur klasik, di mana beberapa ulama seperti Imam Nawawi, Ibnu Jamaah, hingga Al-Juwaini, memberikan legitimasi pada kekuasaan yang diperoleh melalui kudeta.
Narasi-narasi ini, menurut Rofiq, telah berdampak hingga masa kini, seperti pembenaran terhadap kudeta militer berdarah di Mesir yang menewaskan ribuan jiwa. “Pemikiran seperti itu harus kita katakan ‘cukup sudah’,” tegasnya.
Rofiq juga mengkritisi pendekatan yang terlalu permisif terhadap tradisi Islam, seperti yang terlihat dalam karya Shahab Ahmad What is Islam? yang berupaya membenarkan praktik menyimpang seperti minum khamar dengan merujuk pada keragaman tradisi.
Meski mengakui kekayaan teoretis Ahmad, Rofiq menolak sikap semacam itu karena justru menciptakan relativisme nilai.
Mengapa Harus Tradisi Intelektual Islam?
Dalam diskusi yang hangat, muncul kritik bahwa pendekatan dekolonisasi berbasis Islam bisa dianggap eksklusif dan terlalu dekat dengan narasi kelompok fundamentalis seperti HTI.
Kritikus mengusulkan agar dekolonisasi diorientasikan pada pendekatan indigenisasi pengetahuan yang lebih inklusif, seperti epistemologi selatan ala Boaventura de Sousa Santos atau nilai-nilai lokal seperti Hindu Dharma.
Menanggapi hal tersebut, Rofiq menyatakan bahwa dekolonisasi adalah alat berpikir yang generik dan bisa digunakan siapa saja. Ia mencontohkan Mahkamah Agung India yang mencabut larangan hubungan sejenis dengan alasan dekolonisasi, karena hukum tersebut merupakan warisan kolonial Inggris.
“Dekolonisasi itu seperti pisau. Bisa dipakai untuk apapun tergantung siapa yang memegangnya,” ujarnya.
Rofiq juga berbagi pengalamannya dalam forum internasional Critical Muslim Studies yang dipimpin oleh Salman Sayid. Forum ini memperkenalkan pendekatan Muslimness (kemusliman) dan Islamicate (budaya Islam) sebagai bentuk artikulasi dekolonial dari perspektif muslim.
Ia menyebut pendekatan ini sah dan relevan karena masyarakat muslim di banyak belahan dunia menghadapi kolonisasi bukan hanya politik, tetapi juga budaya dan epistemologi.
Dalam konteks ini, ia menegaskan dua prinsip penting dekolonisasi: aliansi dan pluriversality. Aliansi berarti menjalin kerja sama dengan pihak mana pun yang memiliki agenda serupa, termasuk akademisi Amerika Latin atau aktivis Yahudi yang anti-genosida.
Sedangkan pluriversality adalah pengakuan terhadap keragaman epistemologi di luar dominasi Barat. Ia mencontohkan presentasi seorang perempuan dari Afrika Selatan yang menampilkan glorifikasi terhadap Sayyid Qutb meski berpenampilan sekuler.
Rofiq menegaskan bahwa menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam bukanlah bentuk kemunduran, tetapi strategi membangun identitas epistemik yang kuat pasca-dekolonisasi. Ia merujuk pada Khalil Abu Fadl yang menyoroti bahwa cara berpikir tunggal dan koersi negara telah melemahkan masyarakat sipil dan meredam keragaman intelektual Islam.
“Tradisi intelektual Islam itu kaya dan tidak tunggal. Kita abaikan karena cara berpikir modern yang memihak negara telah mendistorsi orientasi berpikir kita,” jelasnya.
Menurut Rofiq, dekolonisasi yang efektif tidak cukup hanya membongkar struktur Barat, tetapi harus mampu membangun sistem alternatif yang berakar pada identitas, etika, dan sejarah kita sendiri.
Tradisi intelektual Islam perlu dipahami sebagai sumber daya yang hidup, bukan sesuatu yang dirawat demi kebanggaan masa lalu. Warisan pemikiran ini bisa diolah menjadi dasar bagi cara berpikir dan berpraktik yang kritis, kontekstual, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Bagi Rofiq, dekolonisasi memang bertujuan membongkar dominasi pengetahuan Barat, tetapi langkah itu harus disertai dengan pembangunan sistem pengetahuan alternatif yang berakar pada sejarah dan etika keilmuan Islam.
Tradisi berpikir yang telah dimiliki sejak lama harus diangkat kembali untuk mengisi kekosongan epistemik dan merumuskan arah baru yang lebih relevan.