MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Talqis Nurdianto menyampaikan ceramah tentang perjalanan dakwah Nabi Muḥammad Saw, khususnya transisi dari dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi) menuju dakwah jahrīyyah (terang-terangan).
Disampaikan di Masjid KH Sudja Yogyakarta pada Senin (18/08), Talqis mengajak jamaah merenungi tantangan, strategi, dan keteguhan Rasulullah serta para Sahabat dalam menyebarkan Islam di tengah tekanan masyarakat Quraisy di Makkah.
Talqis menjelaskan bahwa dakwah Rasulullah Saw selama 13 tahun di Makkah terbagi dalam dua fase: tiga tahun sirriyyah dan sepuluh tahun jahrīyyah. Pada fase awal ini, dakwah dilakukan secara diam-diam dari rumah ke rumah.
Setelah menerima wahyu pertama (QS. al-ʿAlaq [96]: 1–5), Rasulullah mendakwahkan Islam kepada keluarga terdekatnya, seperti Khadijah, ʿAli ibn Abi Thalib, Zayd ibn Haritsah, dan AbU Bakr al-Shiddiq.
Semua keluarga inti Nabi menerima ajakan tersebut, kecuali ʿUtbah ibn Abi Lahab, menantu Nabi, yang menolak karena tekanan ayahnya. Abu Lahab menjadi penentang utama dakwah. Ia mengancam mencoret nama ʿUtbah dari keluarga besar bila menerima Islam, yang berarti kehilangan perlindungan kabilah.
Karena itu, Rasulullah kemudian memisahkan putrinya, Ruqayyah, dari ʿUtbah. Peristiwa ini menunjukkan garis tegas antara iman dan kufur, serta keteguhan Nabi menjaga akidah.
Peralihan menuju dakwah jahrīyyah menjadi babak krusial. Talqis menggambarkan momen ketika Rasulullah Saw naik ke Bukit Ṣafā dan menyeru Quraisy pada tauhid.
Dengan reputasi sebagai al-Amīn (yang terpercaya), Nabi menguji mereka dengan pertanyaan: “Jika aku katakan ada pasukan di balik bukit siap menyerang, apakah kalian percaya?” Mereka menjawab, “Engkau tidak pernah berdusta.”
Namun saat Nabi menyeru kepada tauhid, Abu Lahab mencaci dengan kata “tabbat yadā (celakalah engkau)!”
Cacian ini diabadikan dalam QS. al-Lahab [111], yang secara tegas menyebut Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, sebagai penentang dakwah. Ummu Jamil digambarkan sebagai “ḥammālata al-ḥaṭab” (penggendong kayu bakar), yang menebar fitnah dan bahkan menaburkan duri di jalan Nabi.
Talqis menceritakan peristiwa ketika Ummu Jamīl hendak mencari Nabi dengan amarah, tetapi tidak bisa melihat beliau yang duduk di samping Abū Bakr, suatu bentuk perlindungan Allah.
Tantangan Dakwah Terang-Terangan
Menurut Talqis, dakwah terang-terangan Rasulullah Saw menghadapi perlawanan yang begitu keras dari kaum Quraisy. Mereka menempuh beragam cara untuk meruntuhkan wibawa Nabi. Rasulullah dituduh sebagai penyair, penyihir, bahkan orang gila.
Tidak hanya itu, Quraisy juga mencoba membujuk dengan tawaran duniawi. Mereka menjanjikan harta agar Nabi menjadi orang terkaya di Makkah, tahta sebagai pemimpin, bahkan wanita-wanita tercantik. Bahkan diajukan pula kompromi yang aneh: setahun Nabi menyembah berhala mereka, lalu setahun berikutnya mereka akan menyembah Allah.
Semua itu ditolak tegas oleh Rasulullah, sebagaimana diteguhkan dalam surah al-Kāfirūn, sebagai bukti keteguhan beliau dalam menjaga tauhid.
Perlawanan Quraisy pun meningkat menjadi tekanan sosial dan fisik. Para Sahabat disiksa dengan kejam. Bilal ibn Rabah, misalnya, ditelentangkan di pasir yang membara dengan batu besar menindih dadanya. Namun, dengan suara tertahan, ia tetap mengucapkan kalimat “Aḥad, Aḥad” (Allah Maha Esa).
Keteguhan iman Bilal akhirnya mendapat pembebasan, setelah Abu Bakr al-Shiddiq menebusnya dengan harga mahal sebagai bentuk solidaritas dan pengorbanan.
Talqis menekankan, dalam menghadapi semua tekanan itu, strategi Nabi sangatlah bijak. Rasulullah tidak serta-merta menghancurkan 360 berhala yang mengitari Kaʿbah. Bagi beliau, yang lebih penting adalah menghancurkan berhala dalam hati dan pikiran manusia.
“Jika berhala dihancurkan tanpa mengubah keyakinan, mereka akan membuat berhala baru yang lebih besar,” ujarnya. Karena itu, fokus Nabi adalah membangun kesadaran tauhid.
Pelajaran untuk Dakwah Kontemporer
Talqis mengaitkan peristiwa Makkah dengan konteks modern: dakwah hendaknya dilakukan dengan santun, membangun, dan tanpa menghujat. Ia mengingatkan jamaah untuk tidak mencela tuhan agama lain, sebagaimana pesan al-Qur’an, agar tidak menimbulkan balasan yang lebih keras.
Ia juga menyoroti pentingnya peran orang tua dalam membimbing anak, terutama dalam memilih pasangan hidup. Identitas Muslim, lanjutnya, mesti tampak dalam praktik nyata, seperti jilbab bagi Muslimah dan konsistensi menjalankan salat. Nabi sendiri menunaikan salat bahkan di medan perang, menunjukkan keteguhan iman.
Talqis menutup dengan refleksi: dakwah Rasulullah di Makkah penuh tantangan, namun berhasil karena keteguhan iman dan strategi yang bijak.
“Hari ini, kita berdakwah dengan kebebasan. Tugas kita bukan menjatuhkan, melainkan memengaruhi dengan kebaikan,” tegasnya.