Pertanyaan mengenai boleh atau tidaknya perempuan bernyanyi di hadapan laki-laki non-maḥram kerap memunculkan perdebatan di kalangan umat Islam.
Ada yang menilai bahwa suara perempuan adalah aurat sehingga tidak pantas ditampilkan di ruang publik, sementara sebagian ulama lain berpandangan bahwa suara perempuan bukanlah aurat selama tidak menimbulkan fitnah, serta isi nyanyiannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai syarī‘ah.
Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan telaah yang komprehensif berdasarkan al-Qur’ān, Sunnah Nabi, serta pandangan ulama.
Islam Menghargai Keindahan
Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan Allah untuk manusia. Di dalamnya termasuk keindahan yang menjadi bagian dari fitrah manusia. Firman Allah dalam QS. al-Naḥl (16): 5–6:
وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا ۗ لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ. وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ
“Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.”
Demikian pula dalam QS. al-Sajdah (32): 7:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ
“Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa keindahan adalah bagian dari ciptaan Allah yang patut diapresiasi. Bahkan Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim, no. 147).
Dengan demikian, seni suara dan nyanyian dapat dipandang sebagai salah satu bentuk ekspresi keindahan yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Nyanyian dalam Sunnah Nabi
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa nyanyian bukanlah hal yang asing dalam kehidupan masyarakat Arab saat Nabi Saw. Bahkan, pada momen-momen tertentu seperti pernikahan dan hari raya, nyanyian diperbolehkan.
Aisyah r.a. meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ … فَقَالَ: دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ
“Dari Aisyah r.a. bahwa Abu Bakar r.a. menemui Aisyah dan di sisinya ada dua orang perempuan yang bernyanyi serta memukul alat musik. Nabi Saw yang sedang menutup wajahnya bersabda: ‘Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, karena sekarang adalah hari raya.’” (HR. al-Bukhārī, no. 987).
Demikian pula hadis Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz yang menyebut adanya nyanyian di hadapan Nabi Saw saat pernikahan, dan beliau tidak melarang kecuali ketika isi lirik mengandung klaim yang tidak benar.
Hal ini menunjukkan bahwa syarī‘ah memberikan ruang bagi nyanyian, dengan catatan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan tauhid dan akhlak.
Dalil yang Sering Dijadikan Dasar Keharaman
Sebagian pihak berpegang pada QS. Luqmān (31): 6 sebagai dalil keharaman nyanyian:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشتَرِي لَهْوَ ٱلحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللهِ…
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah …”
Namun, menurut penjelasan ulama tafsir, termasuk al-Zamakhsharī dalam al-Kasysyāf, istilah lahw al-ḥadīts tidak semata berarti nyanyian, melainkan segala perkataan yang melalaikan dari kebenaran, baik berupa cerita kosong, obrolan sia-sia, maupun lirik lagu yang menyesatkan.
Dengan demikian, ayat ini tidak otomatis mengharamkan seluruh bentuk nyanyian, melainkan melarang isi yang membawa kepada kesesatan.
حَدَّثَنِي سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ وَقَذْفٌ وَمَسْخٌ ، قِيلَ: وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ، وَاسْتُحِلَّتِ الْخَمْرُ [رواه الطبرني]
“Sahl bin Sa’ad (diriwayatkan) menceritakan kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda, akan ada di akhir zaman orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya menjadi buruk. Beliau ditanya, kapankah itu terjadi wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ketika alat musik dan para penyanyi perempuan telah merajalela, serta khamr dianggap halal.” (H.R. ath-Thabrani).
Beberapa hadis pun menyebutkan ancaman bagi umat yang menghalalkan zina, khamr, dan ma‘āzif (alat musik) (HR. al-Bukhārī, no. 5590).
Namun, para ulama berbeda pendapat dalam menilai keotentikan dan pemaknaannya, sehingga tidak bisa dijadikan dasar tunggal untuk mengharamkan seluruh jenis musik dan nyanyian.
Suara Perempuan: aurat atau Bukan?
Dalam sejarah Islam, suara perempuan tidak pernah dianggap aurat secara mutlak. Para sahabat biasa bertanya dan berdialog dengan istri-istri Nabi Saw tentang masalah hukum. Aisyah r.a. bahkan menjadi salah satu perawi hadis terbanyak. Seandainya suara perempuan adalah aurat, maka tidak mungkin interaksi keilmuan seperti itu berlangsung.
Oleh karena itu, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyimpulkan bahwa suara perempuan bukanlah aurat. Yang dilarang adalah bila suara tersebut dilagukan dengan gaya yang menggoda dan menimbulkan fitnah.
Berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ān, Sunnah Nabi, dan pertimbangan ulama, dapat disimpulkan:
- Nyanyian pada dasarnya mubāḥ (boleh), sesuai kaidah fikih: al-aṣl fī al-asyyā’ al-ibāḥah (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yang melarang).
- Suara perempuan bukan aurat, sehingga boleh didengar oleh laki-laki non-maḥram, selama disampaikan dengan adab yang baik.
- Batasannya:
- Isi lirik tidak bertentangan dengan akidah dan akhlak.
- Tidak mengandung unsur kemaksiatan atau rayuan erotis.
- Penampilan penyanyi tetap menjaga aurat dan kehormatan diri.
- Tidak menimbulkan fitnah bagi pendengar.
Dengan demikian, perempuan boleh bernyanyi di hadapan laki-laki non-maḥram selama memenuhi syarat-syarat di atas. Seni dalam Islam diakui sebagai sarana mengekspresikan keindahan, tetapi keindahan itu harus tetap dalam koridor syari‘ah.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Wanita Bernyanyi Di Hadapan Laki-Laki Non Mahram”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 8 Tahun 2020.