Pada dasarnya, salat jamak adalah sebuah rukhsah (keringanan) yang diberikan syariat Islam dalam pelaksanaan kewajiban salat, karena adanya alasan (‘udzur) tertentu. ‘Udzur tersebut dapat berupa bepergian (safar), keadaan takut (khauf) seperti ketika berperang, hujan lebat (maṭar), atau kondisi darurat lain yang menyulitkan pelaksanaan salat pada waktunya.
Dalam situasi yang menyebabkan seorang muslim sulit melaksanakan salat sebagaimana di keadaan normal, syariat memberikan kemudahan. Kemudahan ini ada kalanya berkaitan dengan waktu pelaksanaan salat, yakni dengan jamak, dan ada kalanya berkaitan dengan jumlah rakaat, yakni qaṣr.
Prinsip ini ditegaskan dalam firman Allah Swt.:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Ḥajj (22): 78].
Beberapa hadis menjelaskan kebolehan jamak dalam kondisi tertentu:
Hadis dari Mu‘āż r.a.:
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا
“Diriwayatkan dari Mu‘āż r.a., ia berkata: Kami pergi bersama Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk, beliau melaksanakan salat ẓuḥur dan ‘aṣar secara jamak, demikian pula maghrib dan ‘isya’.” [HR. Muslim].
Hadis dari Anas bin Mālik r.a.:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
“Diriwayatkan dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam apabila berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan salat ẓuḥur ke waktu ‘aṣar, lalu turun dan menjamak keduanya. Namun jika matahari sudah tergelincir sebelum berangkat, beliau melaksanakan salat ẓuḥur terlebih dahulu, kemudian baru berangkat.” [Muttafaq ‘Alaih].
Ada pula redaksi hadis tentang jamak tanpa safar:
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلَا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا العَبَّاسِ، وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
“Nabi Saw pernah menjamak antara salat ẓuḥur dan ‘aṣar di Madinah bukan karena bepergian dan bukan karena takut. Aku bertanya: Wahai Abū al-‘Abbās, mengapa bisa demikian? Ia menjawab: Nabi tidak menghendaki adanya kesulitan bagi umatnya.” [HR. Ahmad].
Hadis terakhir ini menjadi dalil bahwa jamak dapat dilakukan untuk menghilangkan kesulitan (raf‘ al-ḥaraj) meskipun tidak sedang safar, selama ada ḥājah (kebutuhan mendesak) dan tidak dijadikan kebiasaan.
Kaitan dengan Lomba Agustusan
Pada Jumat (15/08) kepada tim redaksi Muhammadiyah.or.id, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ustazah Dewi Umaroh, memberikan pendapatnya. Ia mengapresiasi atas perhatiannya pada salat karena amalan satu ini merupakan kewajiban.
Menurut Ustazah Dewi Umaroh, hukum menjamak salat ketika lomba Agustusan sangat bergantung pada konteks kegiatan. Beliau menegaskan bahwa salat adalah ibadah farḍ (wajib) yang waktunya telah ditentukan (mawqūt), sehingga tidak boleh ditinggalkan atau sengaja diakhirkan tanpa alasan syar‘i hanya karena alasan perlombaan atau hiburan.
Namun, jika perlombaan memiliki jadwal yang padat, ketat, dan tidak memungkinkan adanya jeda untuk salat pada waktunya, maka jamak diperbolehkan sebagai bentuk rukhsah. Misalnya turnamen sepak bola dengan format trofeo, maraton lari jarak jauh, atau turnamen voli yang menggunakan sistem pertandingan beruntun (back-to-back match) dalam satu hari.
Ustazah Dewi Umaroh memberikan tiga catatan penting soal ini, yaitu:
- Hanya dilakukan ketika benar-benar ada ḥājah syar‘iyyah (kebutuhan yang dibenarkan syariat).
- Tidak dijadikan kebiasaan dalam setiap acara.
- Tidak dilakukan semata-mata karena malas atau ingin praktis.
Sebaliknya, jika lomba memiliki sela waktu yang cukup untuk melaksanakan salat pada waktuny, maka tidak ada alasan syar‘i untuk menjamak salat. Dalam situasi tersebut, seorang muslim wajib melaksanakan salat pada waktunya karena rukhsah hanya berlaku untuk kondisi darurat atau sulit, bukan untuk mempermudah hal yang seharusnya mudah.
Misalnya lomba makan kerupuk, balap karung, tarik tambang, lomba bakiak atau balap terompah, balap kelereng, memasukkan pensil ke dalam botol, membawa belut atau ikan dengan sendok, menangkap belut, pukul air dalam plastik, memindahkan air dengan spons, memecahkan balon berisi air, estafet bendera, meniup balon hingga pecah, dan lain-lain.
Semua jenis lomba seperti ini biasanya berdurasi singkat dan memiliki jeda antar-lomba, sehingga masih memungkinkan peserta untuk melaksanakan salat pada waktunya tanpa harus menjamak.
Ustazah Dewi Umaroh menegaskan bahwa “kemudahan diberikan hanya untuk menghilangkan kesulitan, bukan untuk menghilangkan kedisiplinan”. Artinya, rukhsah bukanlah izin untuk meremehkan ibadah, melainkan rahmat Allah bagi hamba-Nya yang berada dalam kondisi sulit.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Shalat Musafir dan Shalat Jama’-Qashar”, Majalah Suara Muhammadiyah, No. 02, 2014.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Shalat Jama‘, Qashar, dan Shalat Jamaah”, dalam https://tarjih.or.id/shalat-jama-qashar-dan-shalat-jamaah/, diakses pada 15 Agustus 2025.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama VI, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.