Melakukan razia kendaraan bermotor di jalan raya adalah salah satu upaya untuk menciptakan arus lalu lintas yang aman bagi pengguna jalan. Hal-hal seperti kelengkapan surat dan atribut kendaraan menjadi poin utama yang diperiksa saat pengadaan razia.
Namun, sering kali ditemukan keluhan para pengendara atas pemungutan uang damai saat operasi razia dilakukan. Uang damai ini ditawarkan langsung oleh aparat yang bertugas kepada pengendara yang melanggar sebagai bentuk “perdamaian” atas pelanggaran lalu lintas atau sebaliknya. Dalam konteks ini, bagaimana hukum transaksi uang damai saat operasi razia?
Mengupas Tata Cara dan Penindakan Razia di Jalan Raya
Seperti yang telah disebutkan di atas, razia adalah upaya untuk menciptakan arus berkendara yang aman bagi pengguna jalan. Perspektif perundang-undangan negara, pelaksanaan operasi razia juga sudah dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan j.o. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2012 Pasal 1 Ayat (5).
Dijelaskan bahwa operasi razia bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi gangguan keamanan hingga ketertiban lalu lintas. Operasi diselenggarakan dalam kurun waktu, sasaran, cara bertindak, dan aspek-aspek tertentu oleh beberapa fungsi kepolisian dalam bentuk Satuan Tugas (Satgas).
Dengan jangka waktu berkala dan tata caranya yang sesuai dengan peraturan berlaku, pelaksanaan razia dinilai kegiatan yang legal. Apabila dalam pelaksanaannya ditemukan kekeliruan sesuai peraturan UU Nomor 22 Tahun 2000 Pasal 267, maka akan dijatuhi sanksi yang sudah ditetapkan.
Sesuai mekanisme dan penetapan pengadilan, sanksi dapat berupa pidana denda yang dibayar saat sidang di pengadilan atau dititipkan kepada Bank yang ditunjuk dengan melampirkan bukti penitipan uang dalam surat tilang. Uang denda yang dititipkan nantinya akan dibayar setelah putusan pengadilan dan menjadi kas negara.
Namun, bagaimana jika di lapangan ditemukan pungutan liar yang dilaksanakan baik secara sepihak, maupun kedua belah pihak dalam operasi razia?
Persoalan Uang Damai oleh Kedua Belah Pihak dan Sudut Pandang Islam
Transaksi tersebut jika dianalisis lebih lanjut merupakan kesepakatan ilegal dan salah satu bentuk tindak pidana suap atau Pungutan Liar (Pungli). Dalam peraturan negara, pelaku suap akan diberikan denda pidana berupa uang dan penjara yang telah ditentukan.
Sementara itu, dalam sudut pandang hukum Islam, jelas hukumnya bahwa perilaku suap atau risywah adalah haram. Risywah secara istilah memiliki arti pemberian suatu hal untuk membatalkan kebenaran atau menegakkan kebatilan. Istilah ini erat kaitannya dengan kata korupsi.
Di Al-Qur’an sendiri, dalam Surah Al-Ma’idah ayat 40 telah disebutkan kalimat akkaaluuna lissuhti yang memiliki makna memakan harta yang haram. Kata Suht pada konteks ini telah disepakati oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah sebagai perbuatan korupsi. Jadi, memakan harta yang haram dalam Al-Ma’idah konotasinya masuk kepada memakan harta hasil perbuatan korupsi.
Kisah Nabi SAW terhadap Perbuatan Suap
Keputusan ini sejalan dengan penafsiran pada salah satu hadits Nabi SAW dari riwayat Ibnu Jarir yang berbunyi:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عنْهُ عَنِ النَبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ بِالسُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا السُّحْتُ ؟ قَالَ الرِّشْوَةُ فِى الْحُكْمِ
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., dari Nabi Saw., sesungguhnya beliau bersabda: Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht), nerakalah yang paling layak untuknya. Mereka bertanya: Hai Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud? Beliau menjawab: Suap dalam perkara hukum.” [HR. Ibnu Jarir8/434]
Dan kemudian diperkuat dengan hadits nabi SAW yang menyatakan hukum perbuatan suap dalam syariat Islam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amr, dia menceritakan Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah SWT kepada pemberi suap dan penerima suap.” [HR Ahmad, nomor 6984; Ibnu Majah, nomor 2313. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth].
Jelas disebutkan oleh Rasulullah bahwa perbuatan suap, baik penerima maupun pemberi suap hukumnya haram dan dilaknati Allah SWT.
Kesimpulan
Operasi razia yang diselenggarakan polisi di jalan raya jika ditinjau secara umum hukumnya sah dan legal. Namun, apabila dalam pelaksanaannya tercampur unsur suap atau risywah, jelas dilarang dan diharamkan, baik ditinjau dari hukum negara maupun Syariat Islam. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan petunjuk dari Al-Qur’an serta Hadits
Hendaknya, kedua belah pihak dapat memahami peraturan yang berlaku mengenai persoalan hukum menerima dan memberi suap. Aparat kepolisian dapat bertindak profesional dengan menegakkan mekanisme operasi razia yang berlaku sesuai dengan tata perundang-undangan.
Sementara itu, masyarakat dapat menaati peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah dan membayar pidana denda dengan mekanisme berlaku. Dengan begitu, kedua belah pihak dapat mengerti bahwa perbuatan suap baik dari sudut pandang hukum negara dan syariat Islam itu dilarang keras.
Sumber: Suara Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama