Dalam sejarah perkembangan Islam, istilah bid‘ah selalu menjadi perbincangan yang hangat. Sebagian kalangan menganggap bid‘ah terbagi dua: ada yang terpuji (hasanah) dan ada yang tercela (sayyi’ah).
Namun, tidak sedikit pula ulama yang menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua bid‘ah dalam urusan agama adalah kesesatan. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Muhammadiyah?
Secara bahasa, kata bid‘ah berasal dari akar kata بَدَعَ – يَبْدَعُ – بَدْعًا (bada‘a – yabda‘u – bad‘an) yang berarti mengadakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam Al-Qur’an, kata ini muncul dalam sifat Allah, misalnya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan tanpa contoh sebelumnya.” (QS. al-Baqarah [2]:117).
Adapun dalam istilah syarak, bid‘ah berarti suatu cara baru dalam perkara agama yang menyerupai syariat, dilakukan dengan maksud beribadah atau mencari pahala, padahal tidak ada dalilnya dari al-Qur’an maupun sunnah, serta tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Dalil tentang Bid‘ah dalam Hadis
Istilah bid‘ah disebut langsung dalam banyak hadis Rasulullah Saw. Salah satunya riwayat Muslim (no. 867) dari Jabir bin ‘Abdillah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ Saw إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ … وَيَقُولُ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Setiap bid‘ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat an-Nasā’ī disebutkan tambahan:
وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“… dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. an-Nasā’ī no. 1550).
Hadis ini menjadi dasar penting bagi para ulama yang menolak adanya bid‘ah hasanah.
Perbedaan Pandangan Ulama
Di kalangan ulama, terdapat perbedaan pendapat mengenai pembagian bid‘ah.
Dalam kitab al-I‘tiṣām (Juz I, hlm. 34), al-Syāṭibī menegaskan bahwa bid‘ah hanya terkait urusan agama (akidah dan ibadah). Ia menolak segala bentuk inovasi dalam ibadah yang tidak bersumber dari sunnah Nabi.
Al-Syāṭibī mendasarkan pendapatnya pada hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan al-Bukhārī dari Anas bin Mālik:
… فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“… barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. al-Bukhārī no. 5063).
Bagi al-Syāṭibī, segala bentuk tambahan dalam ibadah yang tidak ada landasannya adalah bid‘ah dan tercela.
Berbeda dengan al-Syāṭibī, Imam al-Syāfi‘ī membagi bid‘ah menjadi dua: bid‘ah mahmūdah (terpuji) dan bid‘ah madzmūmah (tercela). Ia menyebut, jika suatu hal baru tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, ijma‘ atau atsar sahabat, maka hal itu terpuji. Namun jika bertentangan, maka ia tercela.
Pandangan ini kemudian dikutip oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Hajar al-‘Asqalānī dalam Fath al-Bārī (Juz 13, hlm. 253).
Bagaimana Pandangan Muhammadiyah?
Muhammadiyah dalam Manhaj Tarjih menegaskan bahwa bid‘ah hanya berlaku dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah (ritual yang tata caranya sudah ditentukan syariat). Maka segala bentuk penambahan atau pengurangan dalam ibadah, seperti tata cara salat, jumlah rakaat, atau ritual khusus yang tidak diajarkan Nabi Saw, termasuk bid‘ah yang sesat.
Namun, dalam muamalah (urusan sosial, budaya, pendidikan, teknologi, dan lain-lain), hal baru tidak otomatis dianggap bid‘ah. Selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat dan membawa kemaslahatan, maka ia dibolehkan, bahkan dianjurkan.
Misalnya: pendirian sekolah, rumah sakit, panti asuhan, atau penggunaan teknologi modern dalam dakwah. Semua ini tidak ada pada zaman Nabi, tetapi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa dalam pandangan Muhammadiyah, istilah bid‘ah hasanah tidak dikenal dalam konteks ibadah dan akidah. Bid‘ah hanya ada satu, yaitu sesat. Namun dalam bidang muamalah duniawi, berbagai inovasi dan hal baru boleh dilakukan selama sesuai dengan nilai-nilai syariat dan memberi maslahat.
Dengan demikian, pertanyaan “Apakah bid‘ah hasanah itu ada?” dijawab oleh Muhammadiyah: tidak ada dalam ibadah, tetapi ada ruang inovasi dalam muamalah. Inilah bedanya.
Sehingga, umat Islam dituntut untuk cermat: jangan menambah-nambah ibadah yang tidak dicontohkan, tetapi jangan pula menolak kemajuan yang membawa kebaikan bagi kehidupan.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Macam-Macam Bid‘ah”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 17 Tahun 2020.