MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR – Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan, Zulfahmi Alwi, menegaskan bahwa perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam Seminar Tarjih tentang AI di Makassar, Selasa (5/8). Dalam paparannya, Zulfahmi mengajak umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, untuk tidak menolak teknologi, melainkan memanfaatkannya dengan panduan moral dan etika Islam.
Zulfahmi membuka pemaparan dengan menggambarkan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan.
Ia mencontohkan pengalamannya menonton film futuristik seperti Mission Impossible yang dibintangi Tom Cruise, di mana teknologi canggih seperti rumah pintar digambarkan dengan sangat realistis. “Banyak hal yang dulu dianggap mustahil, kini menjadi kenyataan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan contoh kartun The Flintstones yang merepresentasikan keterbatasan teknologi di masa purba, namun kini manusia telah menciptakan pesawat tanpa pilot.
Menurutnya, AI pun akan terus berevolusi, bahkan mungkin suatu saat menjadi “barang kuno” yang digantikan teknologi yang lebih mutakhir. Namun, ia menekankan bahwa kemajuan teknologi harus disikapi dengan panduan moral.
Mengutip Al-Qur’an, Surah Al-‘Alaq ayat 4–5, ia menyebutkan bahwa Allah mengajarkan manusia apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui.
“Kita jangan hanya percaya pada apa yang kita tahu. Ketidakpahaman terhadap AI sering membuat orang menolaknya, padahal itu adalah sunnatullah yang tidak bisa kita hindari,” tegasnya.
Zulfahmi juga menyinggung ayat Al-Qur’an tentang tasbih segala sesuatu di langit dan bumi (QS. Al-Isrā’: 44), yang menunjukkan bahwa bahkan benda tak bernyawa memiliki cara “berkomunikasi” yang mungkin belum dipahami manusia.
Dari analogi ini, ia mengajak audiens untuk memiliki iman yang mendukung pancaindra dalam memahami fenomena baru seperti AI.
Ia mengingatkan bahwa teknologi bersifat netral sehingga dapat membawa manfaat maupun tantangan. Salah satu contohnya ia saksikan di Sydney, Australia, ketika melihat budaya berjemur tanpa atasan di Bondi Beach, yang dianggap wajar oleh masyarakat setempat karena hanya mengandalkan akal sebagai pedoman.
“Kita sebagai umat beragama beruntung memiliki Al-Qur’an dan hadis sebagai panduan, sehingga tidak hanya mengandalkan akal semata,” ujarnya.
Ia juga menyinggung fenomena acara Big Brother di Australia, yang menayangkan aktivitas pribadi secara terbuka di televisi nasional, sebagai bukti bahwa teknologi tanpa kontrol moral bisa merusak kemanusiaan.
Dalam konteks Muhammadiyah, Zulfahmi menegaskan bahwa organisasi ini tidak menolak kemajuan teknologi. Sebaliknya, ia mendorong adanya pendekatan kontekstual melalui ijtihad kolektif, dengan memadukan metode burhani, bayani, dan irfani dalam menyikapi AI.
“Fatwa-fatwa Muhammadiyah harus relevan dengan zaman. Kita tidak boleh melahirkan fatwa yang ‘melangit’ dan tidak bisa diamalkan,” katanya, seraya menekankan perlunya tajdīd agar fatwa selalu sejalan dengan perkembangan zaman.
Ia mengusulkan pembentukan konsep fikih teknologi informasi, dengan prinsip bahwa AI boleh digunakan selama tidak melanggar etika Islam, maqāṣid al-syarī‘ah, dan kemaslahatan umum.
Dalam hal ini, ia mengutip kaidah fikih al-aṣlu fi al-asyyā’ ḥalālun ḥattā yadulla dalīlun ‘alā taḥrīmihi (hukum asal segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya) serta lā ḍarara wa lā ḍirār (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain).
Sebagai contoh, ia menyebut penyebaran hoaks di media sosial sebagai pelanggaran etika yang harus dihindari, mengacu pada QS. Al-Ḥujurāt ayat 6 yang menekankan pentingnya tabayyun (verifikasi).
Menurut Zulfahmi, AI memiliki manfaat besar, terutama dalam memperluas jangkauan dakwah dan pendidikan.
“Dengan AI, kita bisa menyebarkan dakwah hingga ke Arab Saudi atau Eropa hanya dari rumah. AI juga membantu pencarian dalil, tafsir, dan terjemahan dengan cepat,” ujarnya.
Meski demikian, ia memperingatkan risiko seperti disinformasi, ketergantungan berlebihan, bias algoritma, ancaman privasi data, dan potensi mesin menggantikan otoritas agama. “Kita harus meningkatkan literasi digital agar tidak gagap teknologi,” tegasnya.
Sebagai rekomendasi, Zulfahmi mendorong Muhammadiyah untuk mengembangkan literasi etika digital berbasis Islam, memproduksi konten dakwah AI yang etis, meningkatkan kapasitas ulama dalam fikih teknologi, serta menjadikan etika dan fikih sebagai benteng agar AI tidak merusak kemanusiaan.
“Jangan anti-media sosial, karena jika kita tidak memanfaatkannya untuk dakwah, kita akan kalah oleh mereka yang tidak memiliki pengetahuan cukup tapi aktif di media sosial,” tuturnya.