MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR — Jejak spiritual dan intelektual pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, kembali diangkat dalam forum Gerakan Subuh Mengaji yang digelar secara daring pada Senin pagi (28/07).
Dalam ceramah yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Dahlan Lama Bawa, Kiai Dahlan ditampilkan bukan hanya sebagai tokoh agama, melainkan sebagai figur pembaharu yang menghadirkan Islam dalam bentuk yang sederhana, membumi, dan menyentuh langsung kebutuhan umat.
Menurut Dahlan, kekuatan ruhani KH. Ahmad Dahlan berakar dari kedekatannya dengan Allah melalui kesederhanaan hidup dan konsistensi ibadah. Ia lebih memilih langgar kecil daripada masjid megah sebagai pusat dakwah. Di ruang-ruang sederhana itulah Kiai Dahlan merenung, berdoa, dan menafsirkan kehidupan melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Gerakan Muhammadiyah, lanjut Dahlan, tidak lahir dari ruang politik atau akademik semata, tapi dari tempat-tempat yang penuh doa dan perenungan. “Kiai Dahlan memulai semuanya dari langgar, bukan dari mimbar kekuasaan,” ujarnya.
Al-Qur’an tidak dipahami oleh Kiai Dahlan sebagai teks mati, melainkan sebagai petunjuk amal. Ini tergambar dalam pendirian Rumah Sakit Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang terinspirasi dari Surah al-Mā‘ūn. Nilai-nilai seperti menolong orang sakit, menyantuni fakir miskin, dan memberikan pendidikan kepada rakyat kecil bukanlah kegiatan sosial biasa, melainkan bagian dari praksis Islam.
Bahkan, pendekatan dakwahnya pun inklusif dan penuh kasih: ia mengajarkan anak-anak biola agar mereka tertarik belajar agama. “Kiai Dahlan tidak menghardik, tetapi merangkul. Islam yang diajarkannya adalah Islam yang sejuk dan ramah,” ujar Dahlan.
Jejak intelektual Kiai Dahlan dimulai sejak kecil saat masih bernama Muhammad Darwis. Ia belajar dari masjid, surau, hingga pesantren di Yogyakarta. Perjalanan intelektualnya mencapai puncak ketika belajar di Makkah, berguru kepada para pembaharu seperti Ahmad Khathib al-Minangkabawi, Muhammad ‘Abduh, hingga Sayyid Jamal al-Din al-Afghani.
Pemikiran mereka membentuk fondasi tajdid Kiai Dahlan, yang kemudian diwujudkan dalam pendirian Muhammadiyah tahun 1912. “Gerakan beliau mengangkat umat dari gelapnya kebodohan menjadi masyarakat yang beradab,” kata Dahlan.
Dahlan juga mengangkat sisi-sisi kepribadian Kiai Dahlan yang jarang dikisahkan: keteguhan prinsip, pengorbanan harta, dan akhlak karimah. Ia menuturkan kisah ketika Kiai Dahlan melelang barang pribadinya demi membayar gaji guru Muhammadiyah.
Bahkan, pembelinya mengembalikan barang itu sebagai bentuk dukungan. Dalam hal dakwah, Kiai Dahlan tidak pernah memisahkan antara ucapan dan tindakan. Ketika para pengemis berdemo, ia bukannya marah, tapi mengundang mereka masuk rumah dan mengajari mereka membaca Surah al-Ma‘un.
“Surah itu diulangnya hingga 40 kali agar maknanya betul-betul dipahami dan diamalkan,” ungkap Dahlan.
Keikhlasan dan pengabdian Kiai Dahlan terus diwarisi oleh kader Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah hingga kini. Tidak sedikit dari mereka yang mengajar, berdakwah, dan melayani tanpa gaji. Menurut Dahlan, semangat ini sejalan dengan pesan Imam al-Ghazali: amal tanpa ikhlas laksana tubuh tanpa nyawa.
Maka tidak heran jika Muhammadiyah mampu bertahan lebih dari satu abad dan kini memiliki cabang internasional di berbagai negara. “Semua ini bukan karena strategi, tapi karena keberkahan perjuangan yang dimulai dari niat yang lurus,” tegasnya.
Menutup ceramahnya, Dahlan mengajak jemaah untuk meneladani ketulusan dan semangat tajdid Kiai Dahlan. Ia pun menyampaikan apresiasi kepada peserta yang rela mengorbankan kuota internet demi hadir dalam majelis ilmu yang telah berlangsung lebih dari 100 seri ini.
“Ini warisan Kiai Dahlan: berjuang bukan untuk pujian atau kekuasaan, tapi karena cinta kepada kebenaran,” tuturnya.