MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG SELATAN – Persyarikatan Muhammadiyah sebagai pelopor pribumi yang mampu mendirikan rumah sakit pertama pada 1923 di Yogyakarta, yang kini bernama RS PKU Muhammadiyah Jogja.
Tak berselang lama, pada 1924 Muhammadiyah kembali menambah pelayanan kesehatan dengan pendirian Klinik PKU Muhammadiyah di Surabaya dengan aktor utamanya adalah dr. Soetomo.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada Rabu (15/7) di Milad ke-2 RS Muhammadiyah Bandung Selatan (RSMBS) menyampaikan, dalam peresmian Klinik PKU Muhammadiyah di Surabaya tahun 1924 itu dr, Soetomo menyampaikan orasi tentang teologi welas asih.
Dalam orasinya itu, dr. Soetomo menyebut pelayanan kesehatan yang diberikan Muhammadiyah untuk semua, tidak memandang latar belakang agama, suku, ras, dan golongan dengan prinsip dasar yaitu welas asih.
“Kata Soetomo, rumah sakit kita, poliklinik kita itu wujud dari Al Ma’un itu bentuk dari teologi dan praktik hidup welas asih,” ungkap Haedar.
Kata welas asih ini tidak hanya dimiliki oleh orang Jawa, tapi juga Sunda. Menurutnya, antara praktik kebudayaan luhur yang tidak menyimpang tidak perlu saling dipertentangkan dengan nilai-nilai agama.
Guru Besar Ilmu Sosiologi ini menjelaskan, bahwa kebudayaan terdapat dua jenis yaitu kebudayaan yang universal dan lokalitas. Kedua jenis kebudayaan tersebut memiliki tujuh ciri yang sama.
Ciri-ciri kebudayaan tersebut antara lain ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, mata pencaharian, kesenian, penguasaan teknologi, organisasi kemasyarakatan, sistem religi – sistem religi ini adalah wujud dari agama.
Lebih jauh Haedar menjelaskan, bahwa agama itu ada dua bentuk. Pertama, agama yang normatif lahir dari ajaran. Bentuk kedua adalah agama yang sudah dipraktikkan dalam kehidupan dan menjadi kebudayaan.
“Maka kalau ada orang yang mempertentangkan agama dan kebudayaan di sebuah masyarakat yang mayoritas beragama, ya, perlu belajar lagi kebudayaan. Apa itu kebudayaan, dan apa itu agama?,” tutur Haedar.
Merujuk pada pidato dr. Soetomo tahun 1924, Haedar menjelaskan welas asih merupakan pemikiran cinta kasih pada setiap orang tanpa mengenal siapa dia, dari lapisan masyarakat apa, dan ada harmoni antara si kaya dan si miskin.
Teologis welas asih yang dimaksud di situ merupakan turunan dari pemahaman atas Surat Al Ma’un: sebuah surat dalam Al Qur’an yang pro terhadap orang miskin, sekaligus juga pro terhadap orang kaya.
“Yang dia (dr. Soetomo) sebut bukan teori Darwinian – struggle for life, di mana siapa yang kuat dia yang menang. Jadi Al Ma’un itu tidak pahamnya itu, dan alternatif dari Darwinian yang wujudnya welas asih,” imbuh Haedar.
Maka tanpa menyebut atau menempelkan nama welas asih di rumah sakit dan klinik, semua bentuk pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh Muhammadiyah itu berprinsip pada welas asih dengan dasar spirit Al Ma’un.