MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIDOARJO – Dalam upaya mendukung persatuan Islam dan melawan penindasan, serta mengangkat kehormatan dan memajukan kemanusiaan, Muhammadiyah membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak manapun asal tidak merubah prinsip dasar seperti akidah dan tauhid.
Hal itu disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Syafiq A. Mughni dalam Pengajian Ahad pagi yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Tulangan, Kabupaten Sidoarjo Ahad (13/7).
Dalam pengajian yang membahas tentang gejolak di Timur Tengah antara Iran, Israel, Amerika dan negara-negara Teluk itu Syafiq menyebut Muhammadiyah membuka diri bekerja sama dan bahkan sudah saling berkunjung dengan ulama-ulama dari Iran. Dan itu juga sudah dilakukan dengan negara-negara lain.
“Tetapi kalau dalam prinsip mereka itu sama. Maka bagi Muhammadiyah mereka itu muslim, bukan kafir. Jadi sama-sama dengan kita,” tuturnya.
Menyampaikan pengalaman dan perjalanan akademiknya ketika belajar di California, Amerika Serikat, Syafiq menjelaskan, bahwa Syiah secara sederhana dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu yang ekstrim fundamental, moderat, bahkan juga ada yang liberal.
Di antara ketiga itu, Syiah yang moderat itu memiliki kedekatan nyaris identik dengan Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Hal itu dibuktikan Syafiq ketika beberapa kali kunjungan ke Iran, bahkan di sana dia menemukan Al Qur’an yang dibaca sama dengan Islam di Indonesia dan negara lain yaitu Mushaf Usmani.
Namun di sisi lain, sambung Syafiq, dalam gerakan salat ada beberapa perbedaan. Meskipun demikian, menurutnya jika Tuhannya sama, Nabinya sama, Kitab Sucinya sama, maka perbedaan-perbedaan yang sifatnya hanya cabang – tidak pokok, bukan menjadi soal untuk saling bergandeng tangan dan membangun kerja sama.
Tak hanya oleh Muhammadiyah, pertemuan-pertemuan organisasi Islam dunia juga sering melibatkan ulama-ulama asal Iran yang notabene adalah Syiah. Syafiq menceritakan misalnya agenda Konferensi Persatuan Islam Internasional di Riyadh dan Bahrain pada awal tahun 2025.
“Di sana hadir ulama-ulama Syiah dari berbagai negara, dan ulama-ulama Sunni termasuk Syaikh Al Azhar. Dan disitulah terjadi dialog, diskusi supaya orang tidak lagi terpecah belah,” ungkap Syafiq.
Dari agenda umat Islam Internasional itu disepakati bahwa persatuan intra Islam mutlak diperlukan, serta untuk saling memberikan dukungan kepada pihak yang berani melawan kezaliman, mengembangkan ilmu, dan memajukan peradaban.
Syafiq juga menyampaikan kondisi Syiah dan Sunni pada masa sekarang tentu sangat berbeda dengan dulu. Terlebih pada masa konflik abad ke 10 dan 11 masehi. Tak hanya melihat dari jauh, Syafiq dalam realitas panas dingin hubungan antara Syiah dan Sunni ini juga terjun langsung melakukan penelitian.