Dalam kasus di mana seorang pria dan perempuan berzina, kemudian menikah saat si perempuan sedang hamil, lalu bercerai, pertanyaan mengenai tanggung jawab pria terhadap anak yang lahir dari perzinahan tersebut seringkali muncul. Mari kita telaah lebih dalam:
Ketika seorang pria (Fadli) dan seorang perempuan (Sari) melakukan zina, dan Sari hamil karena perbuatan tersebut, lalu keduanya memutuskan untuk menikah, pernikahan ini adalah sah menurut para ulama dan juga sejalan dengan Komplikasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53 ayat (1) dan (2).
Status Nasab dan Tanggung Jawab Ayah dalam Dua Sudut Pandang
-
Berdasarkan Hukum Islam
Menurut para ulama, poin krusialnya terletak pada waktu kelahiran anak setelah pernikahan mereka:
- Jika Anak Lahir Setelah 6 Bulan atau Lebih Sejak Pernikahan:
Apabila anak lahir setelah enam bulan atau lebih dari tanggal pernikahan Fadli dan Sari, maka anak tersebut sah secara nasab adalah anak Fadli. Dalam kondisi ini, Fadli memiliki tanggung jawab penuh atas anak tersebut, meliputi nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, hingga hak waris-mewarisi. Tanggung jawab ini setara dengan anak yang lahir dari pernikahan sah lainnya.
-
Jika Anak Lahir Sebelum 6 Bulan Sejak Pernikahan:
Jika anak lahir sebelum enam bulan dari tanggal pernikahan mereka, secara hukum agama, anak tersebut dinasabkan kepada Sari (ibunya). Namun, Fadli tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan, dan kesehatan anak tersebut karena ia adalah anak dari istrinya. Akan tetapi, dalam hal perwalian dan warisan, Fadli tidak berhak.
- Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Perlu diingat bahwa menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia (KHI Pasal 99 dan UU No. 1/1974 Pasal 42), anak yang lahir sebelum 6 bulan ini tetap dapat dinasabkan kepada Fadli. Hal ini demi kemaslahatan dan kebaikan si anak, agar ia memiliki kejelasan status dan hak-haknya terpenuhi.
Dampak Perceraian
Jika setelah anak lahir dan telah dinasabkan kepada Fadli (baik karena lahir setelah 6 bulan pernikahan, atau berdasarkan hukum positif Indonesia), Fadli dan Sari kemudian bercerai, maka hubungan antara Fadli sebagai ayah dan anak tersebut tidak akan terputus.
Fadli tetap mempunyai tanggung jawab penuh terhadap biaya hidup anak tersebut, termasuk nafkah, pendidikan, kesehatan, serta tetap memiliki hak perwalian dan waris-mewarisi.
Perceraian antara suami dan istri tidak memiliki dampak pada hubungan nasab seorang ayah dengan anaknya. Jadi, meskipun hubungan pernikahan Fadli dan Sari berakhir, tanggung jawab Fadli sebagai seorang ayah tetap melekat.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Menikahi Perempuan yang Hamil Karena Zina dan Status Anaknya”, dalam https://tarjih.or.id/hukum-menikahi-perempuan-yang-hamil-karena-zina-dan-status-anaknya/, diakses pada Kamis, 24 Juli 2025.