MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam menyikapi budaya lokal, Muhammadiyah menempuh jalan tengah. Menerima dengan kritis dan proporsional, bukan menolak secara membabi buta maupun menerima tanpa pertimbangan.
Hal ini ditegaskan Anggota Lembaga Pondok Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM), Cecep Taufiqurrohman, dalam lanjutan pemaparannya pada Gerakan Subuh Mengaji, Ahad (06/07), sebagai respons atas dialektika antara ajaran Islam dan budaya lokal yang sebelumnya ia bahas.
Cecep menjelaskan bahwa Islam sebagai agama global telah lama berdialog dan berdialektika dengan budaya setempat. Islam tidak menolak semua budaya lokal, tetapi juga tidak menerima semuanya begitu saja.
“Seperti halnya Islam menyeleksi empat bentuk pernikahan pada masa jahiliah, tiga dihapus dan hanya satu yang diafirmasi sebagai syariat. Di situlah terlihat sikap kritis Islam terhadap budaya,” ujarnya.
Tiga Bentuk Sikap Muhammadiyah terhadap Budaya Lokal
Dalam konteks kekinian, menurut Cecep, masyarakat umumnya terbagi menjadi tiga sikap terhadap budaya:
Pertama, ekstrem kiri yang menerima budaya secara total tanpa memilah pengaruh baik dan buruk; kedua, ekstrem kanan yang menolak semua budaya lokal karena dianggap menyimpang dari agama; dan ketiga, sikap moderat yang menerima budaya dengan kritis. Muhammadiyah berada pada posisi ketiga.
“Budaya lokal tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Makan nasi, mengenakan sarung atau peci saat salat, hingga menggelar hajatan dengan makanan khas adalah produk budaya. Tapi apakah semuanya bisa kita amalkan? Tentu harus disesuaikan dengan nilai-nilai Islam,” tegasnya.
Cecep lalu menyoroti praktik sebagian warga Muhammadiyah yang kurang mencerminkan sikap kritis terhadap seni dan budaya. Ia mencontohkan adanya tarian yang ditampilkan oleh perempuan di hadapan khalayak pria dalam acara-acara Muhammadiyah.
“Meski penarinya berjilbab, jika gerakan dan konteksnya tidak sesuai dengan adab, maka ini bukan bagian dari seni yang dibenarkan oleh Muhammadiyah,” ujarnya sembari menekankan pentingnya autokritik dalam tubuh organisasi.
Kriteria Budaya Lokal yang Dapat Diterima oleh Islam
Mengutip Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Jilid 3 halaman 155, Cecep memaparkan lima kriteria budaya yang dapat diterima dalam Islam menurut Muhammadiyah. Budaya tersebut harus:
- • tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah;
- • meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur syirik, bidah, khurafat, atau tahayul;
- • menumbuhkan kebersihan jiwa dan maslahat;
- • tidak melalaikan atau mengandung unsur maksiat; serta
- • mencerdaskan dan tidak memecah belah.
Ia juga mengingatkan pentingnya membedakan antara aspek ajaran Islam yang bersifat tetap (tsawabit) dan yang bisa berubah sesuai konteks (mutaghayyirat).
“Salat tetap wajib dilakukan sebagaimana dicontohkan Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi rukun dan bacaan pokoknya. Tapi cara berpakaian saat salat, selama menutup aurat, bisa menyesuaikan budaya lokal,” jelasnya.
Terakhir, Cecep menegaskan bahwa berislam tidak berarti mengadopsi budaya Arab secara membuta. “Berpakaian jubah atau imamah bukan ukuran ketakwaan. Selama nilai syar’i terpenuhi, maka Islam bisa dijalankan dengan ekspresi budaya lokal,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia menyerukan agar warga Muhammadiyah bersikap objektif, proporsional, dan memiliki landasan tarjih dalam menghadapi budaya.
Dengan landasan nilai dan prinsip yang jelas, Muhammadiyah memberi teladan bagaimana ajaran Islam dapat berdialog dan hidup berdampingan dengan budaya, tanpa kehilangan jati diri keislamannya.