MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Pembagian zakat sebagaimana disebutkan dalam QS al-Taubah ayat 60 selama ini dipahami berdasarkan konteks sosial masa klasik Islam. Namun, perubahan zaman menuntut adanya peninjauan ulang terhadap makna dan cakupan delapan kelompok penerima zakat (aṣnāf al-zakāh).
Dalam masyarakat modern, sistem sosial telah bergeser, kebutuhan hidup semakin kompleks, dan mekanisme pengelolaan zakat pun berubah. Oleh karena itu, pemaknaan ulang terhadap para penerima zakat menjadi suatu keniscayaan agar zakat benar-benar hadir sebagai solusi atas problem sosial masa kini.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Asep Sholahudin, dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (9/7).
Menurutnya, salah satu perubahan besar yang tidak bisa diabaikan adalah hilangnya sistem perbudakan yang pada masa lalu dilegalkan, serta berubahnya standar kesejahteraan dari kebutuhan primer (pangan, sandang, papan) menjadi lima dimensi, termasuk kesehatan dan pendidikan.
Jika hanya difokuskan pada individu sebagaimana dalam kerangka klasik, zakat dikhawatirkan tidak akan menjawab kebutuhan publik yang kian mendesak.
Asep lalu membahas ayat zakat dalam QS al-Taubah (9): 60, yang berbunyi: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk ibnu al-sabīl, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Taubah [9]: 60).
Dalam analisis linguistiknya, Asep menguraikan dua ḥarf al-jarr (kata penghubung) yang digunakan dalam ayat tersebut, yakni li dan fī. Berdasarkan tafsir al-Zamakhsyarī, li digunakan untuk empat aṣnāf pertama (al-fuqarā’, al-masākīn, al-‘āmilīn, dan al-mu’allafati qulūbuhum) dan bermakna li al-milki (berarti milik atau hak individu). Sedangkan fī digunakan untuk empat aṣnāf terakhir dan bermakna li al-wi‘ā’ (berarti dalam, menunjukkan kepentingan umum).
Namun, Asep lebih condong pada tafsir Rashīd Riḍā yang menyatakan bahwa fī hanya digunakan untuk dua kelompok terakhir: al-riqāb dan sabīlillāh. Enam sisanya tetap menggunakan li. Dengan demikian, pembagian zakat terdiri dari kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif.
Menurut Riḍā, makna li menunjukkan zakat sebagai hak personal bagi mereka yang sangat membutuhkan (ashkhāṣ massat-hum al-ḥājah), sementara fī menunjukkan zakat yang ditujukan untuk kemaslahatan umum.
Lebih jauh, Asep menegaskan bahwa praktik di masa Nabi pun telah menunjukkan fleksibilitas dalam penggunaan zakat untuk kepentingan kolektif. Ia merujuk hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud, bahwa zakat dapat diberikan kepada orang kaya dengan lima alasan, dua di antaranya menunjukkan legitimasi penggunaan zakat untuk kebutuhan bersama:
“Ṣadaqah tidak halal bagi orang kaya kecuali dalam lima hal: menjadi tentara di jalan Allah, sebagai amil zakat, karena terlilit utang, membeli zakat dengan hartanya, atau menerima hadiah dari orang miskin yang mendapatkan zakat.”
Salah satu contoh konkret yang dikemukakan adalah pembelian sumur Raumah oleh ‘Uṡmān bin ‘Affān, yang airnya digunakan oleh seluruh masyarakat Madinah. Ini menunjukkan bahwa zakat pada masa Nabi tidak hanya dialokasikan secara individual, tetapi juga untuk infrastruktur umum yang memberi manfaat luas.
“Jika zakat hanya dibatasi untuk kebutuhan individu, maka kebutuhan publik yang mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan ketersediaan air bersih akan terabaikan. Maka, pembagian zakat harus bisa mengakomodasi kedua kepentingan ini,” tutur Asep.
Asep Sholahudin menegaskan bahwa penyesuaian terhadap makna aṣnāf dan bentuk distribusi zakat tidak berarti mengubah syariat, tetapi justru bentuk ijtihad yang menjadikan prinsip keadilan sosial dalam Islam terus relevan dan hidup.
“Zakat harus menjawab tantangan zaman. Maka redefinisi bukanlah penyimpangan, tapi justru bentuk kesetiaan kita terhadap maqāṣid al-syarī‘ah,” ujar Asep.