MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam kajian keislaman yang digelar di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pada Ahad (13/07), Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Gita Danupranata, menyampaikan materi bertema Prinsip Taysir dalam Ibadah.
Kajian ini awalnya ditujukan untuk membekali jemaah haji dan umrah, namun relevansinya meluas hingga mencakup berbagai aspek ibadah sehari-hari, khususnya salat, puasa, dan sedekah.
Dalam pemaparannya, Gita menjelaskan konsep taysir. Istilah ini merujuk pada prinsip kemudahan dalam beribadah. Dengan kata lain, ini adalah pendekatan syariah yang tidak membebani umatnya melampaui kemampuan mereka.
Gita mengutip dua ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan utama prinsip ini, yaitu Al-Baqarah ayat 185: “Yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usr” (Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu), dan Al-Baqarah ayat 286: “Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā” (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).
Prinsip Taysir dalam Menghindari Masyaqqah Ibadah
Gita menegaskan bahwa prinsip taysir bertujuan untuk menghindari masyaqqah (kesulitan) dalam beribadah, tanpa mengarah pada sikap yang terlalu permisif atau kebablasen (melampaui batas kemudahan hingga mengabaikan esensi ibadah).
“Kemudahan dalam taysir bukan berarti menggampangkan ibadah, tetapi memberikan ruang bagi umat untuk menjalankan perintah agama sesuai kapasitasnya,” ujarnya.
Gita berbagi pengalamannya mendampingi jemaah haji, di mana ia kerap menemui situasi yang menuntut penerapan taysir. Misalnya, perubahan berbasis teknologi dalam penyelenggaraan ibadah haji, seperti penggunaan aplikasi atau pengaturan jadwal tanazul di Mina, sering kali menimbulkan kebingungan.
“Banyak jemaah yang merasa repot dengan perubahan ini. Namun, setelah dipahami, prinsip taysir memungkinkan kita menjalankan ibadah dengan lebih fleksibel tanpa mengurangi nilai spiritualnya,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya taysir dalam ibadah sehari-hari, seperti salat. Gita memberikan contoh situasi di mana seseorang mungkin tidak dapat menghadap kiblat atau melaksanakan salat tepat waktu karena kendala tertentu, seperti perjalanan atau kesibukan.
“Dalam kondisi seperti itu, taysir memungkinkan kita untuk tetap beribadah dengan menyesuaikan situasi, misalnya dengan menjamak salat atau melaksanakannya di tempat yang memungkinkan,” jelasnya.
Menghindari Ekstremisme dalam Beribadah
Gita juga mengingatkan agar prinsip taysir tidak disalahartikan sebagai sikap yang terlalu longgar atau “gampangke”. Ia mencontohkan kasus jemaah yang terlalu kaku dalam menjalankan ibadah hingga justru menyulitkan diri sendiri atau orang lain, seperti menunda keberangkatan perjalanan demi menunggu waktu salat subuh.
“Islam tidak menghendaki kesulitan. Jika kita terlalu ghuluw (ekstrem) dalam beribadah, itu bisa menjadi fitnah bagi orang lain,” tegasnya, merujuk pada Al-Hajj ayat 78: “Wa mā ja‘ala ‘alaikum fid-dīni min ḥaraj” (Allah tidak menjadikan kesulitan bagimu dalam agama).
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, Gita mengilustrasikan penerapan taysir pada situasi seperti resepsi pernikahan, di mana seseorang mungkin perlu menjamak salat untuk menyesuaikan jadwal acara.
“Pilihan ada pada kita, apakah ingin menjalankan ibadah secara ideal atau menggunakan taysir. Yang penting, ibadah tetap dilaksanakan sesuai kemampuan tanpa mengurangi keikhlasan,” ungkapnya.
Menyinggung soal sedekah, Gita menekankan bahwa keikhlasan (ikhlas) dalam beribadah harus sejalan dengan kapasitas (mampu). “Jika mampu memberikan Rp1 juta, jangan hanya memberikan Rp100 ribu dengan alasan ikhlas. Keikhlasan diukur dari niat dan usaha maksimal sesuai kemampuan,” tuturnya.
Taysir sebagai Prinsip dalam Berkehidupan
Gita mengajak jemaah untuk terus mendalami ajaran Islam agar dapat memahami esensi taysir secara utuh. Ia menegaskan bahwa prinsip ini tidak hanya berlaku untuk ibadah haji, tetapi juga dalam segala aspek ibadah mahdah (yang diatur secara spesifik) dan kehidupan sehari-hari.
“Islam adalah agama yang memudahkan, bukan mempersulit. Mari kita jalankan ibadah dengan nyaman sesuai kapasitas masing-masing,” ucapnya.
Kajian ini dihadiri oleh jemaah dari berbagai kalangan, yang tampak antusias menyimak penjelasan Gita tentang bagaimana taysir dapat menjadi panduan praktis dalam menjalankan ibadah tanpa kehilangan makna spiritualnya.