Perbincangan seputar zakat profesi terus menjadi topik yang relevan, terutama bagi umat Islam yang hidup di era modern. Berbeda dengan zakat pertanian, emas, atau peternakan yang telah dikenal sejak masa kenabian, zakat profesi baru mendapatkan sorotan serius melalui ijtihad para ulama mutaakhir.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sendiri dalam Musyawarah Nasional ke-25 tahun 2000 di Jakarta telah menetapkan bahwa zakat profesi hukumnya wajib, dengan nisab setara 85 gram emas murni (24 karat) dan kadar zakat 2,5%.
Namun yang menarik, ada perbedaan dalam hal dasar pengqiyasan dan waktu pengeluarannya. Sebagian panduan seperti Pedoman Zakat Praktis dari Dewan Syariah Lazismu menetapkan bahwa zakat profesi diqiyaskan pada zakat pertanian, sehingga nisabnya dapat juga disamakan dengan 552 kg beras.
Sementara dalam Tanya Jawab Agama terbitan Majelis Tarjih, zakat profesi tetap diqiyaskan kepada zakat mal dan dihitung setelah dikurangi kebutuhan dasar hidup seperti pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
“Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS. Al-Baqarah: 219).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa al-‘afwu berarti sesuatu yang melebihi kebutuhan keluarga, sebagaimana disampaikan oleh tokoh-tokoh tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid.
Prinsip ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam banyak hadis, salah satunya:
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ … فَأَنْتَ أَبْصَرُ
“Seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, saya memiliki satu dinar. Rasulullah menjawab: Nafkahkanlah untuk dirimu sendiri… Ia berkata lagi: Saya punya yang lain. Rasulullah menjawab: Maka kamu yang lebih tahu.” (HR. Muslim).
Dari hadis ini terlihat bahwa kebutuhan pribadi dan keluarga didahulukan sebelum menunaikan kewajiban kepada pihak lain. Maka logis jika zakat profesi dikeluarkan dari penghasilan bersih setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Selain itu, meskipun zakat profesi mensyaratkan haul atau masa satu tahun, zakat ini dapat dikeluarkan lebih awal jika penghasilan tahunan sudah bisa diperkirakan akan mencapai nisab. Hal ini didasarkan pada hadis:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ … فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ
“Abbas bin Abdul Muthallib meminta izin kepada Nabi untuk menyegerakan zakatnya sebelum genap setahun, dan Nabi pun membolehkannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya).
Lalu, bagaimana praktik perhitungannya di lapangan?
Kita ambil contoh seorang pejabat negara dengan penghasilan Rp 30.000.000 per bulan. Setelah dikurangi pengeluaran rutin yang ma’ruf dan layak, ia masih memiliki sisa Rp 20.000.000 per bulan.
Dalam setahun, penghasilannya yang tersisa ini menjadi: Rp 20.000.000 × 12 bulan = Rp 240.000.000.
Harga emas 24 karat saat ini adalah sekitar Rp 2.000.000/gram, maka nisabnya setara: 85 gram × Rp 2.000.000 = Rp 170.000.000.
Karena sisa penghasilannya dalam setahun mencapai Rp 240.000.000, maka ia telah mencapai nisab (85 gram = Rp 170.000.000) dan wajib mengeluarkan zakat profesi.
Zakat yang harus dibayarkan: 2,5% × Rp 240.000.000 = Rp 6.000.000 per tahun. Zakat ini dapat dibayarkan sekaligus di akhir tahun, atau dicicil bulanan sebesar: Rp 6.000.000 ÷ 12 = Rp 500.000 per bulan.
Besaran ini bisa disalurkan melalui lembaga zakat resmi seperti Lazismu yang memiliki mekanisme penyaluran yang terarah, mulai dari bantuan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, hingga tanggap bencana.
Maka sudah semestinya para profesional muslim menyambut zakat bukan sebagai beban, tetapi sebagai sarana pensucian harta dan kontribusi nyata dalam membangun masyarakat yang adil dan berdaya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Zakat Profesi dan Gaji Pensiun”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 16 Tahun 2008.