MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Persoalan tentang makna dari kata “al-Masīḥ” ternyata memiliki signifikansi dalam akidah Islam. Hal ini diungkapkan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ghoffar Ismail, dalam ceramahnya di Masjid KH Ahmad Dahlan pada Rabu (16/07).
Ia menyoroti bagaimana satu kata ini bisa dilekatkan pada sosok agung seperti Nabi Isa dan juga pada figur perusak, yaitu Dajjal. Ghoffar Ismail memulai ceramahnya dengan pertanyaan esensial: mengapa Allah menyematkan gelar “al-Masīḥ” pada Nabi Isa ibn Maryam, namun juga pada Dajjal?
Istilah “al-Masīḥ” berasal dari kata kerja bahasa Arab “masaḥa” (masaḥa yamsaḥu masḥan), yang memiliki beberapa arti, yaitu menghapus, menghilangkan, mengusap, dan melakukan perjalanan.
Dalam al-Qurʾan, kata ini disebut dua kali terkait wudhu, namun lebih dari enam kali berkaitan dengan Nabi Isa. Sementara dalam hadis, “masaḥa” juga terkait dengan wudhu dan masḥu al-khuffayn (mengusap sepatu).
Ghoffar Ismail menjelaskan bahwa kata al-Masīḥ juga mengikuti wazn faʿīl li al-mubālaghah, sebuah bentuk kata yang menunjukkan intensitas atau superlatif. Menariknya, kata ini dapat bermakna fāʿilun (pelaku) dan mafʿūlun (yang dikenai perbuatan).
Sebagai contoh, kata ʿālimun (yang mengetahui) ketika menjadi ʿālimun bermakna Yang Maha Mengetahui. Namun, rajīmun (yang terkutuk), dari kata rajama (mengutuk), bermakna yang dirajam atau yang terkutuk, seperti dalam frasa min ash-syayṭāni al-rajīm.
“Ini menunjukkan bahwa al-Masīḥ dapat berarti yang menghapus, menjalankan, atau menghilangkan, sekaligus yang dihapus atau dihilangkan,” ucap Ghoffar.
Perbedaan Al-Masīḥ untuk Nabi Isa dan Dajjal
Gelar al-Masīḥ yang disematkan pada Nabi Isa memiliki makna yang sangat indah. Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, gelar ini diartikan sebagai pribadi yang diberkati dan yang menghapus keburukan, bahkan menghilangkan penyakit atas izin Allah Swt.
Nabi Isa dipandang sebagai seseorang yang kebaikannya dan keberkahannya melampaui yang lain, bahkan disebut sebagai juru selamat, meskipun semua nabi juga adalah juru selamat yang diutus (al-mabʿūts atau al-mursal).
“Penempatan gelar khusus ini pada Nabi Isa menunjukkan keistimewaan dari keluarga ʿImrān yang melahirkan Maryam dan kemudian Nabi Isa,” kata Ghoffar.
Berbeda dengan Nabi Isa, kata al-Masīḥ yang dilekatkan pada Dajjal justru memiliki makna yang berlawanan. Ghoffar Ismail menjelaskan bahwa al-Masīḥ pada Dajjal berarti “penghapus kebaikan” atau “pembuat kerusakan”.
Dajjal digambarkan sebagai sosok yang merusak tatanan, dan penyematan al-Masīḥ padanya juga dalam bentuk li al-mubālaghah. Ini menunjukkan intensitas kerusakannya, layaknya rajīm (yang terkutuk). Dalam konteks Dajjal, al-Masīḥ bermakna mafʿūlun, yaitu yang terhapus kebaikannya atau yang terkutuk.
Selain itu, beberapa ulama mengaitkan makna al-Masīḥ pada Dajjal dengan kondisi fisiknya yang bermata satu. Kata masaḥa di sini diartikan bahwa Allah menghapus atau menghilangkan satu matanya, sehingga hanya tersisa satu mata.
Dajjal dalam Perspektif Muhammadiyah
Pembahasan mengenai Dajjal seringkali muncul dalam banyak hadis, baik yang sahih namun tidak mutawatir (diriwayatkan oleh banyak jalur) maupun yang dlaʿif (lemah). Namun, doa berlindung dari fitnah al-Masīḥ Dajjal jelas disebutkan dalam hadis sahih, seperti riwayat Ibn ʿAbbās dalam Sahih al-Bukhārī, yang selalu dibaca dalam tasyahhud akhir setiap salat.
Para ulama memiliki dua pandangan mengenai Dajjal. Pertama, Dajjal adalah entitas fisik yang akan muncul di akhir zaman, dihubungkan dengan kemunculan Imām Mahdī, Yaʾjūj dan Maʾjūj, serta Nabi Isa.
Kedua, pandangan yang diakomodasi oleh Tarjih Muhammadiyah, Dajjal bisa saja bermakna non-fisik, yaitu sebagai suatu masa, peristiwa, sarana, atau kondisi yang menghancurkan kebenaran, seperti perkembangan teknologi yang disalahgunakan.
Meskipun demikian, Muhammadiyah tidak memberikan penjelasan detail mengenai Dajjal fisik karena hadis-hadis mengenainya tidak mencapai derajat mutawatir. Bagi Muhammadiyah, meyakini keberadaan Dajjal, baik fisik maupun non-fisik, adalah penting untuk mengembangkan kehati-hatian dan memohon perlindungan kepada Allah, namun bukan merupakan pokok akidah utama.
Pokok akidah yang utama adalah meyakini kebenaran Allah SWT dan hari akhir. Ghoffar Ismail menutup ceramahnya dengan harapan bahwa pemahaman akan perbedaan makna al-Masīḥ ini dapat menambah pengetahuan dan menghilangkan keraguan di kalangan umat Islam.