MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURAKARTA – Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Pemikiran Hukum Muhammadiyah, pada Jumat (4/7), di Kampus UMS.
Ketua MHH PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, dalam sambutannya menyampaikan harapan agar forum ini mampu merumuskan pola pikir hukum khas Muhammadiyah yang dapat diimplementasikan di berbagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA).
Menurutnya, selama ini Muhammadiyah telah aktif dalam praktik advokasi hukum, terutama melalui aksi Jihad Konstitusi seperti pengajuan judicial review atas sejumlah kebijakan publik. Namun, belum banyak terbangun kerangka pemikiran hukum Muhammadiyah yang sistematis dan berbasis manhaj sendiri.
“Dari kegiatan ini, kami berharap lahir rumusan pola pikir hukum Muhammadiyah yang bisa diturunkan ke forum-forum dekan fakultas hukum, baik di bidang hukum tata negara, administrasi negara, pidana, maupun perdata,” ungkap Trisno.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa hasil pemikiran hukum Muhammadiyah ini tidak terbatas pada ranah hukum semata, tetapi juga dapat diintegrasikan secara lintas disiplin, seperti dalam bidang kedokteran, teknik, dan lainnya.
“Meski diinisiasi oleh fakultas hukum, pemikiran ini bisa menjadi rujukan dalam bidang lain. Karena hukum hadir dalam semua aspek kehidupan,” ujarnya.
Trisno juga menegaskan bahwa hasil pemikiran ini tidak hanya berhenti di ruang akademik, tetapi perlu diterjemahkan dalam praktik keorganisasian, termasuk di lingkungan organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah dengan pendekatan yang kontekstual.
Ilmu Hukum Profetik: Konsep Berbasis Tarjih dan Islam Berkemajuan
Dalam forum tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum UMS, Prof. Kelik Wardiono, menawarkan konsep Ilmu Hukum Profetik sebagai kontribusi bagi pengembangan pemikiran hukum Muhammadiyah.
Menurut Prof. Kelik, ilmu hukum yang berkembang di Indonesia masih berada dalam dominasi paradigma Barat yang bersandar pada nilai-nilai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yang secara ontologis menyingkirkan wahyu dan qalb (hati) sebagai sumber dan instrumen pengetahuan.
“Dalam perspektif Barat, wahyu tidak diakui sebagai objek ilmu pengetahuan, dan qalb tidak dianggap sebagai instrumen valid. Ini membuat ilmu pengetahuan menjadi kering dari nilai-nilai transendental,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya membangun sistem pengetahuan hukum yang mengakomodasi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis berbasis Islam, khususnya melalui pendekatan Tarjih Muhammadiyah dan paradigma Islam Berkemajuan.
“Sejak awal berdiri, Muhammadiyah sebenarnya sudah memiliki fondasi filosofis dalam bidang hukum, seperti dalam kasus Ordonansi Guru, pemotongan hewan kurban, dan lainnya. Banyak tokoh Muhammadiyah juga berperan dalam perumusan dasar negara,” paparnya.
Prof. Kelik menegaskan bahwa Manhaj Tarjih yang selama ini digunakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dapat menjadi landasan metodologis bagi pengembangan ilmu hukum yang khas Muhammadiyah.