MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Islam memberikan panduan lengkap untuk menjaga kesejahteraan mental melalui keseimbangan hidup, pendekatan spiritual, dan pengelolaan emosi.
Hal tersebut disampaikan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ruslan Fariadi, dalam ceramahnya di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (06/07). Ia mengajak jemaah untuk memahami kesehatan mental dari perspektif Al-Qur’an dan hadis.
Dengan merujuk pada kasus tragis seorang mahasiswi di Solo yang bunuh diri akibat tekanan hidup, Ruslan menekankan pentingnya manajemen kalbu sebagai cara mencegah dampak buruk dari tekanan psikologis yang tak tertanggulangi.
Ruslan memulai dengan menjelaskan bahwa hidup itu sendiri adalah ujian, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah QS Al-Mulk ayat 2: “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik amalnya.”
Ia mengingatkan agar manusia tidak menambah beban hidup dengan menciptakan masalah sendiri, tetapi justru memfokuskan diri pada peningkatan kualitas hidup, melalui thalabul ‘ilm (menuntut ilmu) serta pengelolaan mental yang sehat.
Menurutnya, kesehatan mental bukan sekadar terbebas dari gangguan seperti depresi, tetapi merupakan kondisi menyeluruh berupa kenyamanan batin, ketenangan jiwa, dan rasa syukur atas nikmat Allah.
Ruslan juga mengaitkan pemahaman ini dengan definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana individu mampu menyadari potensinya, mengatasi tekanan hidup normal, bekerja secara produktif, dan berkontribusi kepada komunitasnya.
Ia lalu menyambungkan dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kaya hati.” (Laisa al-ghinā ‘an katsrati al-‘arḍi, walākinna al-ghinā ghina an-nafs).
“Orang yang kaya hati mampu menikmati apa yang dimilikinya dengan penuh syukur, bukan menjadi budak harta,” ujar Ruslan.
Dalam ceramahnya, Ruslan juga memaparkan tiga penyakit kronis yang merusak kesehatan mental, yakni hasad (iri dengki), bukhul (kikir), dan hidup yang tidak seimbang. Untuk itu, ia menawarkan solusi berupa konsep wasathiyah Muhammadiyah—keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani.
Ia merujuk pada hadis Nabi SAW yang menyatakan: “Bukanlah orang terbaik di antara kalian orang yang meninggalkan dunia untuk akhiratnya, atau akhirat untuk dunianya, tetapi yang mengambil dari keduanya untuk keseimbangan.” (Laisa bikhairikum man ‘aqala dunyāhu li ākhiratihi, walā ākhiratahu li dunyāh, ḥattā ya’khudza min hādzihi li hādzihi).
Lebih lanjut, Ruslan menyoroti data yang menunjukkan bahwa sekitar 15,5 juta orang Indonesia mengalami gangguan mental, di mana 46% di antaranya berasal dari Generasi Z (usia 12–27 tahun) yang sedang dalam proses pencarian jati diri, serta 41% adalah generasi milenial (usia 28–43 tahun) yang sedang menghadapi tekanan hidup dan tuntutan ekonomi.
Menurut Ruslan, spiritualitas Islam merupakan pilar utama dalam menjaga kesehatan mental. Hubungan yang erat dengan Allah (hablum minallah) mampu memberikan ketenangan batin dan arah hidup yang jelas. Ia menyebut Al-Qur’an sebagai “buku pintar manusia” yang menyuguhkan panduan hidup yang holistik, termasuk terapi melalui zikir, salat, dan bahkan praktik menulis ayat-ayat suci sebagai bentuk penyembuhan batin.
Ruslan juga membagikan pengalamannya dalam mengkaji psikologi Qurani. Menurutnya, pendekatan ini sangat relevan dengan tantangan mental di era modern. Ia menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, manusia disifati dengan enam identitas atau alias:
- Abdullah – hamba Allah,
- An-Nas – makhluk sosial,
- Al-Insan – makhluk berpotensi,
- Khalifatullah – pemimpin di bumi,
- Bani Adam – keturunan Adam yang dimuliakan,
- Al-Basyar – makhluk fisik biologis.
Dengan memahami identitas ini, manusia dapat mengelola tekanan psikologis dengan lebih bijak. Misalnya, gangguan kecemasan (anxiety disorder) dapat ditenangkan melalui zikir dan salat yang menjadi terapi spiritual alami dan teruji secara ilmiah dalam meningkatkan ketenangan serta fokus mental.
Menjelang akhir ceramah, Ruslan mengajak jemaah untuk memperbaiki kualitas ibadah, memperkuat rasa syukur, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Hal ini penting agar umat Islam terhindar dari kondisi yang disebut dalam QS Thaha ayat 124: “Kehidupan yang sempit dan gelisah.” (Ma‘īsyatan ḍankā).
Salah satu poin penting yang ditekankan Ruslan adalah praktik menulis Al-Qur’an sebagai terapi. Ia menyebut aktivitas ini bukan hanya bermanfaat dalam meningkatkan konsentrasi, tetapi juga membantu menjernihkan pikiran, mengurangi kecemasan, dan menjadi cara untuk mengatasi kesepian. Menulis ayat-ayat suci sambil merenungkannya, kata Ruslan, mampu membuka ruang perenungan yang mendalam dan membentuk koneksi spiritual yang menyembuhkan jiwa.