MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Menjaga hati dari godaan setan merupakan inti dari pembangunan spiritual manusia. Pesan ini disampaikan oleh Fajar Rachmadani, Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Fajar menyampaikan pesan ini dalam kajian yang berlangsung di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Ahad (27/07). Dalam tausiyahnya, ia mengangkat tema pentingnya hati sebagai pusat kesadaran dan akhlak, dengan mengacu pada kitab Mukhtaṣar Minhāj al-Qāṣidīn karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
Kitab ini merupakan ringkasan dari Minhāj al-Qāṣidīn karya Ibn al-Jawzi, sekaligus penyempurnaan atas Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali. Dalam struktur pembahasannya, kitab tersebut membagi tema ke dalam empat bagian besar: rub‘ al-‘ibādāt (ibadah), rub‘ al-‘ādāt (kebiasaan), rub‘ al-muhlikāt (perusak jiwa), dan rub‘ al-munjiyāt (penyelamat jiwa).
Pada kesempatan ini, Fajar memfokuskan pembahasan pada rub‘ al-muhlikāt, khususnya bagian tentang keajaiban dan kerentanan hati manusia, yang dibahas dalam kitāb syarḥ ‘ajā’ib al-qulūb.
Mengutip pernyataan Ibnu Qudāmah, Fajar menyampaikan bahwa yang paling mulia dalam diri manusia adalah hatinya (asyraf mā fī al-insān qalbuhu). Nabi Muhammad Saw juga bersabda bahwa Allah tidak menilai rupa atau harta, tetapi menilai hati dan amal (innallāha lā yanẓuru ilā ṣuwarikum wa lā ilā amwālikum, walākin yanẓuru ilā qulūbikum wa a‘mālikum).
Keselamatan manusia sangat bergantung pada kebersihan hati, sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Syu‘arā’ ayat 88–89 bahwa tidak ada yang bermanfaat pada hari kiamat kecuali mereka yang datang dengan hati yang bersih.
Namun, hati bukanlah entitas yang steril dari gangguan. Ibnu Qudamah mengibaratkannya sebagai benteng (ḥiṣn) yang harus dijaga dari serangan musuh, yaitu setan (‘aduww). Setan masuk melalui celah-celah hati, yang sering kali tidak disadari manusia.
Di antaranya adalah hasad dan ḥirṣ (iri dan tamak), yang membuat manusia kehilangan kejernihan batin (baṣīrah). Fajar mencontohkan kisah Qabil dan Habil, di mana iri hati mendorong terjadinya pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Pintu masuk lainnya adalah amarah (al-ghaḍab), nagsu (syahwah), dan kekakuan hati (ḥiddah). Ketika seseorang dikuasai amarah, ia kehilangan kontrol rasional dan terbuka terhadap bisikan setan.
Ibnu Qudāmah menukil ucapan iblis bahwa orang pemarah mudah dibolak-balik seperti bola di tangan anak kecil. Kecintaan berlebihan terhadap perhiasan dunia (ḥubb al-tazyīn) juga menjerumuskan manusia pada kelalaian. Begitu pula perut yang terlalu kenyang (asy-syaba‘) memperkuat syahwat dan mengendurkan semangat ibadah, sehingga puasa menjadi sarana efektif untuk menutup jalan masuk setan.
Godaan lain yang tak kalah kuat adalah tamak terhadap pujian dan popularitas, yang dalam konteks kekinian bisa berupa obsesif terhadap citra di media sosial. Ini membuka jalan pada riya’ dan ‘ujub yang mengotori niat.
Ketergesaan (al-‘ajalah) juga menjadi celah setan, kecuali dalam beberapa amal seperti salat, pelunasan utang, atau mengubur jenazah. Terakhir, cinta berlebihan terhadap harta (ḥubb al-māl) mendorong seseorang menghalalkan segala cara, membangkitkan sifat bakhil, dan menumpulkan kepekaan hati.
Dalam kajian ini, Fajar turut mengisahkan peristiwa viral tentang seorang jemaah di Pesantren Budi Mulia, Yogyakarta, yang wafat saat sedang melatih bacaan Al-Fātiḥah dengan khusyuk, tepat pada ayat “Ihdinā al-ṣirāṭ al-mustaqīm.”
Menurutnya, ini adalah contoh ḥusn al-khātimah yang lahir dari hati yang bersih dan senantiasa terhubung dengan Allah. Sebaliknya, jika hati terus dibiarkan dikotori oleh hasad dan amarah, maka risiko akhir hidup yang buruk pun terbuka lebar.
Mengutip hadis Nabi, Fajar menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki qarīn, yakni pendamping dari jin dan malaikat yang saling memengaruhi. Jika hati cenderung kepada bisikan setan, maka keburukan akan mendominasi. Sebaliknya, jika hati lebih condong kepada bisikan malaikat, maka kebaikan akan menguasai.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah al-Syams: “Qad aflaḥa man zakkāhā, wa qad khāba man dassāhā” — beruntunglah orang yang menyucikan hati, dan rugilah yang mengotorinya.