MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Munafik dan mukhlis bukan sekadar label, tetapi potret kontras yang sering hadir dalam kehidupan sehari-hari. Kedua karakter tersebut tergambar jelas dalam QS. Al-Baqarah ayat 204 hingga 207.
Dalam ayat-ayat tersebut, Al-Quran memberikan gambaran tajam tentang dua karakter yang saling bertolak belakang: satu merusak dalam balutan kata manis, satunya lagi rela berkorban demi mencari rida Allah.
Tafsir tentang sifat mukhlis dan munafik ini tidak hanya relevan untuk menggambarkan masyarakat di masa Nabi, tetapi juga menjadi cermin reflektif bagi umat Islam hari ini yang hidup di tengah arus informasi, kepentingan duniawi, dan sering kali kehilangan orientasi ilahiah.
Pesan penting ini disampaikan oleh Ustaz Aly Aulia, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dalam Pengajian Malam Selasa yang rutin digelar di Madrasah Muallimin Yogyakarta pada Senin (20/07). Beliau mengulas Tafsir At-Tanwir jilid kedua, bab ketiga, yang membedah Surah Al-Baqarah ayat 204–207.
Ustaz Aly menekankan bahwa tema sentral dari ayat-ayat tersebut adalah tauhid sebagai pondasi peradaban dan penjernih hati. Di sinilah terungkap bagaimana bahaya kemunafikan tak hanya merusak pribadi, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial.
Sebaliknya, keikhlasan menjadi daya penggerak perbaikan, meskipun seringkali sunyi dari pujian manusia.
Tipikal Orang Munafik dan Ciri Orang Mukhlis
Ustaz Aly menjelaskan bahwa ayat 204 menggambarkan tipikal orang munafik: pandai berbicara, bersumpah atas nama Allah, namun sebenarnya adalah musuh kebenaran.
Sifat ini diperjelas dalam ayat 205 dan 206, bahwa di balik kemilau retorika, mereka menyebar kerusakan, merusak alam, menghancurkan nilai-nilai sosial, bahkan menolak nasihat dengan penuh kesombongan.
Ustaz Aly menyitir kisah Akhnas bin Syuraiq yang disebut dalam asbāb an-nuzūl sebagai tokoh munafik. Ia berpenampilan santun di depan Nabi, namun kejam terhadap sahabat di belakang layar. Ini menjadi pelajaran penting bahwa kemunafikan bukan sekadar dosa personal, melainkan racun sosial yang harus disadari dan dihindari melalui introspeksi yang jujur.
Sebagai antitesis dari sifat munafik, ayat 207 memuji mereka yang yasyrī nafsahū—mengorbankan diri demi mencari rida Allah. Istilah ini menunjukkan keikhlasan sebagai bentuk tertinggi dari tauhid praktis.
Dalam konteks sejarah, ayat ini merujuk pada kisah Shuhaib bin Sinan ar-Rumi yang meninggalkan seluruh hartanya demi berhijrah bersama Rasulullah. Keikhlasan itu bukan hanya tampak dalam ibadah, tetapi dalam keputusan besar yang mengorbankan kenyamanan demi kebenaran.
Ustaz Aly menegaskan bahwa orang mukhlis bukan hanya orang yang rajin ibadah, tetapi mereka yang aktif menjaga kebaikan sosial dan keadilan dalam masyarakat.
Menjaga Diri dari Munafik, Melatih Diri Menjadi Mukhlis
Dalam sesi pelajaran dan refleksi, Ustaz Aly menyampaikan bahwa mengenali sifat munafik dimulai dari kejujuran terhadap diri sendiri.
Pertanyaan seperti “Apakah kita pernah menolak kebenaran yang jelas?” atau “Apakah kita merasa nyaman dengan kebohongan kecil?” menjadi cermin awal untuk membersihkan hati.
Sebaliknya, keikhlasan dibangun dengan kesadaran bahwa segala amal hanya bermakna bila ditujukan untuk Allah. Keikhlasan ini ditandai bukan hanya oleh ibadah personal, tetapi juga kontribusi sosial seperti aktif dalam dakwah, menghindari syubhat, dan menjaga etika dalam organisasi keislaman.
Mengakhiri kajian, Ustaz Aly menegaskan bahwa menuju keikhlasan adalah perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, keistikamahan, dan rahmat dari Allah. Beliau mengajak jemaah untuk memperbanyak zikir, memperdalam Al-Qur’an, dan bergabung dalam amal kebaikan secara aktif.