MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam khutbah Jumat (25/07) di Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nurwanto menegaskan bahwa Rasulullah Saw adalah teladan terbaik bagi umat manusia.
Anggota Majelis Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Nonformal Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengutip Surah al-Aḥzāb ayat 21: Laqad kāna lakum fī Rasūlillāhi uswatun ḥasanah, sebagai dasar bahwa kehidupan Nabi merupakan cerminan ideal dari nilai-nilai Al-Qur’an.
Nurwanto menyebut Nabi sebagai “Al-Qur’an yang berjalan” karena seluruh aspek kehidupannya adalah pengejawantahan wahyu. Karena itu, studi terhadap hadis dan as-sunnah al-maqbūlah memiliki posisi penting dalam Muhammadiyah. Melalui itu, umat dapat memahami secara konkret ucapan, tindakan, dan persetujuan Nabi dalam berbagai situasi kehidupan.
Nurwanto juga mengajak jamaah meningkatkan iman dan takwa sebagai bekal utama dalam menjalani kehidupan. Ia mengingatkan akan janji surga yang luasnya seluas langit dan bumi bagi orang-orang yang beriman. Spirit fastabiqu al-khayrāt (berlomba dalam kebaikan) harus menjadi budaya umat Islam.
Mengutip Surah Āli ‘Imrān ayat 104 dan 110, ia menegaskan bahwa predikat khayra ummah bukanlah status kosong. Umat Islam harus aktif menegakkan amar makruf dan nahi mungkar. Ia mengaitkan hal ini dengan pemikiran Prof. Kuntowijoyo yang menyebut bahwa ayat kuntum khayra ummah ukhrijat lin-nās menunjukkan bahwa umat Islam dituntut untuk memainkan peran kesejarahan.
“Umat harus hadir sebagai khalīfatullāh fī al-arḍ, yang mengelola, memimpin, dan memberi solusi sesuai kapasitas dan keahliannya,” terangnya.
Membangun Jaringan Sosial Kunci untuk Peradaban
Nurwanto juga menyampaikan bahwa memperkuat jaringan sosial adalah prasyarat utama membangun peradaban Islam yang berdaya dan berkeadaban. Umat Islam perlu saling memberdayakan, bukan saling memperdaya. Tanpa jaringan sosial yang sehat, kehidupan bersama mudah rapuh.
Ia menekankan bahwa membangun jaringan sosial adalah bagian dari perintah agama. Ia mengutip firman Allah dalam Surah Āli ‘Imrān ayat 103: Wa‘taṣimū biḥabliLlahi jamī‘an wa lā tafarraqū (Berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah, dan janganlah bercerai-berai).
Menurutnya, ayat ini mengandung pesan penting: umat harus memiliki network yang kuat, dialog yang sehat, dan kemitraan yang kokoh. Semua itu menjadi modal sosial yang akan memperkuat posisi umat di tengah perubahan zaman. Nilai saling asah, asih, dan asuh harus dijaga sebagai budaya bersama.
Nurwanto juga mengaitkan pentingnya jaringan sosial ini dengan tesis Yuval Noah Harari, sejarawan lulusan Oxford University, dalam buku Nexus. Menurut Harari, kemampuan bertahan hidup manusia sejak zaman purba terletak pada insting sosialnya.
Manusia mampu berpindah dari kehidupan berburu ke bertani, lalu membentuk negara bangsa, karena mereka bisa bekerja sama. Namun, tantangan terbesarnya adalah mengelola konflik yang muncul dari jaringan itu sendiri.
“Manusia pandai membentuk organisasi, partai, bahkan negara. Tapi yang sulit adalah managing conflict,” tegasnya.
Ia menilai bahwa konflik tak bisa dihindari. Namun sebagai homo sapiens, manusia dituntut untuk menyelesaikannya secara beradab. Bukan dengan saling menghancurkan, melainkan dengan bijak dan rasional.
Khutbah ditutup dengan penegasan visi besar Muhammadiyah. Menurut Nurwanto, sebagaimana sering diungkapkan Prof. Haedar Nashir, cita-cita Muhammadiyah adalah membangun peradaban Islam yang egaliter dan inklusif.
Tidak hanya dalam konteks NKRI, tetapi juga dalam skala global. Di tengah pembangunan yang melesat, tugas besar umat adalah memastikan keadilan sosial benar-benar terwujud bagi seluruh lapisan masyarakat.