MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, melainkan perjuangan dan transformasi spiritual. Memasuki tahun baru Hijriah, umat Muslim dianjurkan untuk melakukan hijrah personal, mengevaluasi diri, dan menanamkan semangat baru dalam kehidupan.
Demikian diungkapkan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, dalam ceramahnya di Masjid KH Sudja, Yogyakarta pada Senin (14/07). Ia mengajak jemaah untuk berhijrah dari kondisi sebelumnya ke arah yang lebih baik.
“Tahun kemarin apa, tahun sekarang mau apa? Seharusnya begitu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa seharusnya peningkatan ekonomi juga diiringi dengan peningkatan keimanan. Bertambahnya usia, kata dia, juga harus diimbangi dengan bertambahnya amalan. “Kalau amalan kita yang kemarin sama dengan yang sekarang, maka kita termasuk orang yang rugi,” tegasnya.
Budi Jaya Putra mengutip Surah An-Nisa ayat 100, “Barang siapa berhijrah di jalan Allah niscaya mereka akan mendapatkan di bumi tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”
Ayat ini, jelasnya, berkaitan dengan hijrahnya sahabat dari Mekkah ke Madinah. Nabi Muhammad SAW menyemangati mereka yang berhijrah karena Allah, meyakinkan bahwa mereka akan mendapatkan tempat dan rezeki yang melimpah.
Ia menjelaskan bahwa Islam berkembang pesat di Madinah setelah hijrah. Para sahabat pun menjadi lebih baik berkat sambutan luar biasa dari kaum Anshar, penduduk Madinah.
“Kaum Anshar itu luar biasa sekali. Ketika menyambut para sahabat yang hijrah dari Mekkah ke Madinah, betul-betul penyambutan yang luar biasa,” kenangnya.
Bahkan, Budi menceritakan bagaimana kaum Anshar berlomba-lomba menawarkan bantuan, mulai dari rumah, harta, hingga istri.
“Abdurrahman bin Auf ditawarin istri. ‘Istri saya banyak, Abdurrahman. Kamu mau pilih mana? Silakan ambil’,” ujarnya. Hal ini menggambarkan betapa dermawannya kaum Anshar. Kaum Anshar, lanjutnya, dinamakan demikian karena mereka menjadi penolong bagi para Muhajirin.
Merujuk pada kemuliaan kaum Anshar dalam menjamu, Budi kemudian menyoroti pentingnya memuliakan tamu. Ia bertanya kepada jemaah, “Bagaimana dengan kita, Pak? Kira-kira kalau ada saudara sesama muslim datang ke Jogja, kira-kira disambut atau disuruh ke masjid saja?”
Ia menegaskan bahwa memuliakan tamu adalah perintah Nabi SAW. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamu,” kutipnya.
Ia bahkan berbagi sebuah kisah tentang seorang sahabat yang istrinya merasa keberatan karena terlalu sering menjamu tamu. Ketika Nabi SAW berkunjung ke rumah sahabat tersebut, setelah Nabi keluar, muncullah hewan-hewan berbahaya seperti kalajengking dan ular dari rumah itu.
“Seandainya kalian tahu keutamaan tamu yang berlama-lama di rumah, kalian mesti senang melayani tamu,” kata Nabi dalam kisah tersebut.
Budi menjelaskan bahwa tamu membawa berkah dan mengeluarkan energi negatif. Ia menyarankan agar tamu diajak bercerita dan dihidangkan makanan. “Rumah kita penuh berkah,” imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa memuliakan tamu bisa dilakukan selama tiga hari, dengan menjamu sesuai kemampuan. “Kalau di lemari es itu ada sate, keluarkan sate ya. Ada tongseng keluarkan tongseng. Jangan dibalik. Ada tamu malah dikasih tempe,” candanya.
Dua Hal Penting dalam Tahun Baru Hijriah
Budi kemudian memaparkan tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam menyambut tahun baru Hijriah:
Pertama, muhasabah (evaluasi diri). “Biasakan untuk mengevaluasi diri atau yang disebut dengan muhasabah,” kata Budi Jaya Putra.
Muhasabah adalah perintah Allah, seperti firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr ayat 18, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
Evaluasi diri ini mencakup persiapan untuk kehidupan akhirat. “Sudah punya tabungan apa? Bukan deposito uang, Pak. Bukan tabungan, bukan sawah. Deposito amal,” tegasnya. Tiga hal yang akan dibawa seseorang setelah wafat adalah sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.
Untuk memiliki sedekah jariyah, diperlukan dana, yang bisa didapatkan melalui bekerja, berusaha, atau berdagang. Ilmu yang bermanfaat tidak hanya didapat dari mengaji, tetapi juga dengan berbagi pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki.
“Jenengan bisa apa? Yang bisa motong rambut ajarin orang untuk bisa motong rambut,” contohnya. Ia juga menekankan pentingnya mengajarkan ilmu, terutama salat, kepada keluarga.
Budi mengajak jemaah untuk mengevaluasi diri dalam berbagai aspek:
- Ibadah: Salat wajib (tepat waktu, terlambat, atau belum konsisten), salat sunah (duha, tahajud, rawatib), puasa sunah (Senin Kamis, Ayyamul Bid, Daud), tilawah Al-Qur’an, serta zikir dan doa harian.
- Akhlak dan Kepribadian: Sikap terhadap orang tua (patuh dan lembut, membantah, kurang perhatian), interaksi sosial (sopan, saling membantu, menyapa teman dan tetangga), serta menjaga lisan dan perilaku.
- Kehidupan: Evaluasi target tahun lalu (yang tercapai dan belum tercapai), kesalahan yang sering diulang, pencapaian terbaik tahun lalu, dan perbaikan yang ingin dilakukan tahun ini.
Setelah muhasabah, jemaah diharapkan membuat komitmen tahun baru hijrah pribadi. Komitmen ini bertujuan agar keinginan dapat tercapai, misalnya “Saya akan selalu salat tepat waktu. Kalau tidak tepat waktu, satu waktu salat saya infak Rp1 juta.”
Kedua, memperbarui miat. “Innamal a’malu bin niat,” kata Budi Jaya Putra, mengutip hadis yang berarti “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.”
Ia menjelaskan bahwa jika niat masih bercampur dengan kepentingan dunia, maka perlu diperbarui di tahun ini. Contohnya, niat datang ke masjid untuk mengaji atau salat, bukan hanya untuk buka puasa atau mencari makan gratis.
Niat yang tulus karena Allah akan mencegah kekecewaan. “Ketika seseorang itu niatnya bagus, tidak ada kekecewaan di dalam dirinya,” jelasnya. Sebaliknya, kekecewaan sering muncul karena niat yang bersifat duniawi.