MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Islam Persatuan umat Islam melalui penyatuan sistem penanggalan telah menjadi cita-cita besar yang kini mulai terwujud. Pada Rabu 25 Juni 2025 silam, Muhammadiyah meresmikan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) di Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah ini menandai langkah bersejarah dalam menyatukan umat Islam di seluruh dunia melalui satu kalender berbasis perhitungan astronomi yang konsisten. Inisiatif ini, yang telah dirintis sejak 2007, tidak hanya mencerminkan komitmen Muhammadiyah terhadap pembaharuan Islam, tetapi juga menunjukkan pentingnya kolaborasi global untuk mewujudkan visi besar ini.
Namun, perjalanan menuju penerimaan universal masih membutuhkan sosialisasi masif dan pendekatan strategis, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dalam diskusi mendalam di program Ruang Publik TVMu pada Sabtu (05/07), tiga narasumber—Agus Purwanto, Tono Saksono, dan Syamsul Anwar—mengupas tuntas perjalanan panjang KHGT, tantangan sosialisasi, dan langkah-langkah ke depan.
Agus Purwanto, Guru Besar Fisika Teori ITS dan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menjelaskan bahwa KHGT merupakan respons atas kebutuhan global untuk menyatukan penanggalan Islam, yang selama ini berbeda-beda di berbagai negara.
“Ini bukan lagi urusan nasional, tapi global. Satu tanggal untuk seluruh dunia,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya sosialisasi berjenjang, mulai dari pimpinan pusat hingga ke ranting, untuk memastikan pemahaman masyarakat akar rumput.
Tono Saksono, pakar astronomi Islam dari Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa perjalanan KHGT telah berlangsung selama 17 tahun sejak seminar internasional di Jakarta pada 2007. “Ini adalah kerja kolektif yang sangat besar. Setelah diresmikan, tantangan berikutnya adalah sosialisasi ke dunia Islam,” katanya.
Ia menyoroti perlunya kolaborasi dengan organisasi internasional seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Dianet Turki, European Council for Fatwa and Research, dan Fiqh Council of North America untuk memperluas penerimaan KHGT di tingkat global.
Sementara itu, Syamsul Anwar, pakar hukum Islam dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027, menegaskan bahwa komunikasi dengan organisasi internasional telah dilakukan sejak lama, termasuk melalui seminar-seminar dengan OKI dan organisasi lain. Ia juga mengusulkan strategi sosialisasi melalui publikasi akademik, jurnal, dan konten digital yang mudah diakses masyarakat.
“Kita perlu melatih dai-dai agar memahami KHGT, sehingga mereka bisa menyampaikannya dalam ceramah atau khotbah,” tambahnya. Dukungan dari OKI, khususnya melalui Deklarasi Dakar 2008 yang mendorong penyatuan kalender Islam, menjadi amunisi penting dalam upaya ini.
Para narasumber sepakat bahwa tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir umat Islam yang masih terikat pada metode tradisional seperti wujudul hilal dan rukyatul hilal.
Agus menekankan perlunya kesabaran, mengingat perubahan ini melibatkan transformasi pola pikir selama 15 abad. “Kita harus sabar, karena tidak semua umat Islam langsung menerima pendekatan sains secara penuh,” ujarnya.
Ke depan, Muhammadiyah akan fokus pada pengembangan per personally software untuk mempermudah akses ke KHGT, serta memperkuat komunikasi dengan ormas Islam lain di Indonesia, seperti melalui Majelis Ulama Indonesia. Secara internasional, peran Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di berbagai negara akan dimaksimalkan sebagai juru bicara.
Dengan kerja keras dan kolaborasi lintas pihak, KHGT diharapkan dapat menjadi simbol persatuan umat Islam, mewujudkan kesamaan dalam penentuan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha di seluruh dunia.
Seperti yang dikatakan Tono dengan mengutip peribahasa Jawa, “Jer basuki mawa bea,” setiap upaya besar membutuhkan pengorbanan. Dengan komitmen dan strategi yang matang, Muhammadiyah optimistis KHGT akan diterima secara luas sebagai langkah menuju pembaharuan dan penguatan citra Islam di mata dunia.