MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) dinilai sebagai langkah strategis untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam penentuan waktu ibadah. Dengan prinsip “satu hari, satu tanggal,” sistem ini menawarkan pendekatan ilmiah dan terstandar dalam menetapkan awal bulan Hijriah.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Oman Fathurrahman dalam ceramahnya di Masjid KH Sudja, Yogyakarta, pada Ahad (06/07).
Dalam pemaparannya, Oman menjelaskan perbedaan sistem kalender yang digunakan dunia, khususnya kalender Syamsiah (solar) dan Qamariah (lunar), serta pentingnya penerapan KHGT demi menyatukan umat dalam waktu ibadah yang seragam secara global.
Ia mengawali ceramah dengan membedakan dua sistem kalender utama yang digunakan di Indonesia: kalender Syamsiah dan Qamariah. Kalender Syamsiah, atau Masehi, mengikuti peredaran matahari selama kurang lebih 365 hari dan beberapa jam dalam satu tahun, disempurnakan dengan sistem tahun kabisat.
Sedangkan kalender Qamariah, yang dalam Islam dikenal sebagai kalender Hijriah, mengikuti siklus bulan mengelilingi bumi dengan rata-rata 29,5 hari per bulan. Kalender Hijriah ini ditetapkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, dengan titik awal peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW.
Oman menegaskan bahwa Al-Qur’an telah menetapkan jumlah bulan dalam setahun sebanyak 12 bulan, sebagaimana disebut dalam Surah At-Taubah ayat 36. Empat di antaranya disebut sebagai bulan haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab), yang memiliki nilai istimewa dalam syariat Islam.
Dalam pembahasannya, Oman menyoroti perbedaan penetapan awal bulan Hijriah di berbagai negara yang disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan hilal). Kondisi ini kerap menimbulkan perbedaan dalam perayaan hari-hari besar seperti Idulfitri dan Iduladha.
KHGT, menurut Oman, hadir sebagai solusi atas problem klasik ini dengan menggunakan pendekatan hisab hakiki.
Ia menjelaskan bahwa KHGT menetapkan awal bulan Hijriah secara global berdasarkan kriteria ilmiah, yaitu ketika tinggi bulan minimal 5 derajat dan elongasi 8 derajat pada saat matahari terbenam sebelum pukul 00.00 GMT.
Jika kriteria ini terpenuhi di wilayah mana pun di dunia (dengan pengecualian pulau-pulau terpencil seperti Adak dan Hawaii), maka tanggal 1 Hijriah ditetapkan secara global.
Oman juga membandingkan KHGT dengan sistem yang digunakan Muhammadiyah, yakni hisab wujudul hilal yang bersifat lokal, dan sistem regional seperti kriteria MABIMS yang digunakan oleh Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Ia menyoroti ketidakkonsistenan kriteria MABIMS, seperti yang terjadi pada awal Ramadan 1446 H, di mana Indonesia dan Malaysia memulai puasa pada tanggal yang berbeda meski tergabung dalam forum yang sama.
Lebih lanjut, Oman memaparkan hasil perhitungannya mengenai potensi perbedaan antara KHGT dan Kementerian Agama dalam 25 tahun ke depan (1447–1471 H). Terdapat kemungkinan perbedaan pada 12 tanggal penting, termasuk empat tahun berturut-turut untuk 1 Syawal, kecuali jika terjadi perubahan dalam standar Kementerian Agama.
“Kalender Hijriah Global Tunggal bukan sekadar proyek astronomis, tetapi juga misi persatuan umat. Jika kita ingin bersatu dalam satu waktu dan satu barisan, maka KHGT adalah langkah nyata ke arah itu,” tegasnya.