MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, Ustadz Nur Fajri Romadhon, menyampaikan uraian mendalam tentang keistimewaan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu Al-Qur’an.
Disampaikan secara daring pada Sabtu (05/07), ia menegaskan bahwa pilihan Allah SWT terhadap bahasa Arab bukanlah tanpa maksud, melainkan sarat hikmah, baik secara linguistik, historis, maupun strategis.
Nur Fajri mengawali dengan meluruskan pandangan umum yang keliru mengenai bahasa Nabi Adam as. Ia menegaskan bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa yang digunakan oleh Nabi Adam, melainkan apa yang disebut para linguis sebagai Ademic language — akar dari seluruh bahasa manusia.
Ia mengutip pendapat al-Suyuthi serta penafsiran al-Baidhawi dan Ibnu ‘Abbas tentang ayat wa ‘allama Adama al-asmā’a kullahā dalam Q.S. al-Baqarah, bahwa Allah mengajarkan seluruh jenis kosa kata kepada Nabi Adam yang kemudian berkembang menjadi ragam bahasa di dunia.
Salah satu keturunan bahasa tersebut adalah rumpun Semitik, yang melahirkan bahasa Arabiyyah, Suryāniyyah (bahasa Injīl), dan ‘Ibrāniyyah (bahasa Taurat dan Zabur).
Secara kuantitatif dan historis, bahasa Arab memiliki dominasi yang tidak dimiliki oleh bahasa Semitik lainnya. Saat ini, bahasa Arab menjadi bahasa resmi di 22 negara, serta digunakan dalam aksara oleh berbagai bangsa seperti Melayu, Parsi, dan Urdu.
Bahkan, sebelum era kolonialisme, sekitar 80% bahasa di benua Afrika ditulis menggunakan aksara Arab. Dalam hal persebaran, bahasa Arab juga mendapat keunggulan karena Jazīrah Arab merupakan pusat geografis dunia.
“Pusat penerbangan global pun sering melewati kawasan ini. Ini menunjukkan posisi strategis bahasa Arab secara global,” jelasnya.
Dari aspek ilmiah, ia mengutip penelitian dari Max Planck Institute di Jerman yang menyatakan bahwa bahasa Arab termasuk yang paling banyak mengaktifkan kerja otak. Sementara British Council menilai bahasa ini memiliki kekayaan kosa kata yang luar biasa dan memberi pengaruh besar pada bahasa lain, termasuk bahasa Inggris.
Menjawab pertanyaan tentang mengapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab padahal Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia, Nur Fajri menjelaskan bahwa keputusan tersebut mencerminkan hikmah Allah sebagai al-Ḥakīm.
“Allah tentu mampu menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa lain. Namun, karena Nabi Muhammad Saw pertama kali diutus kepada bangsa Arab, maka wahyu haruslah dalam bahasa mereka,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab eksklusif bagi orang Arab. Terjemahan telah dilakukan sejak awal Islam, misalnya oleh Salman al-Farisi yang menerjemahkan surat al-Fātiḥah ke dalam bahasa Parsi. Terjemahan lainnya menyusul, termasuk ke bahasa Yunani pada abad ke-8, Latin pada abad ke-12, dan Melayu.
Ia menegaskan bahwa penerjemahan Al-Qur’an tidak bertentangan dengan syariat, bahkan bisa dilakukan tanpa mencantumkan teks Arabī, terutama untuk kebutuhan dakwah kepada non-Muslim.
“Di Jerman dan Inggris, banyak terjemahan Al-Qur’an yang tidak mencantumkan lafaz Arabī demi mempermudah pemahaman,” jelasnya.
Lebih dari itu, Nur Fajri menggarisbawahi peran bahasa Arab sebagai lingua franca kaum Muslimin. “Seorang Muslim dari Indonesia dan Uganda mungkin tidak memahami bahasa satu sama lain, tapi mereka saling menyapa dengan ‘Assalāmu ‘alaykum’ dan melaksanakan salat dengan bacaan yang sama. Inilah kekuatan bahasa Arab sebagai perekat umat,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kewajiban mempelajari bahasa Arab bersifat fardu ‘ayn untuk perkara dasar (seperti syahādat dan bacaan salat), dan fardu kifāyah untuk pemahaman mendalam terhadap agama.
Dalam bagian akhir paparannya, Nur Fajri juga menepis tuduhan anti-Semitisme yang kerap diarahkan kepada Muslim yang mengkritik penjajahan Zionis di Palestina. Ia menjelaskan bahwa istilah Semit mencakup bukan hanya Yahudi, tetapi juga bangsa Arab.
Selain itu, Islam melarang penghakiman kolektif terhadap Ahl al-Kitāb. “Al-Qur’an, dalam surat Āli ‘Imrān, menyatakan bahwa di antara Ahl al-Kitāb ada yang adil dan dapat dipercaya. Jadi, mengkritik zionisme tidak sama dengan anti-Yahudi,” pungkasnya.
Melalui pemaparan ilmiah, historis, dan teologis tersebut, kuliah pembukaan ini memberikan landasan kuat bagi pemahaman bahwa pemilihan bahasa Arab dalam Al-Qur’an adalah bentuk kebijaksanaan ilāhiyyah yang menyatukan umat, sekaligus menunjukkan keuniversalan Islam yang terbuka untuk semua bangsa dan bahasa.