MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam Islam, ibadah bukanlah sekadar ritual keagamaan yang dijalankan secara mekanis. Ibadah merupakan sebuah proses transformasi yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Ibadah adalah wujud ketaatan dan cinta kepada Allah. Ia berakar dari syarī‘ah sebagai sistem hidup yang menyeluruh. Jika dijalankan dengan sadar dan penuh penghayatan, ibadah akan membentuk manusia yang bersih lahir dan batin.
Ibadah juga menjadikan seseorang bertanggung jawab dalam hidup bermasyarakat. Inilah jalan untuk menjadi hamba Allah yang membawa rahmat bagi semesta.
Gagasan besar inilah yang menjadi ruh dalam ceramah bertema “Ibadah yang Berdampak” yang disampaikan oleh Qaem Aulassyahied, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Masjid Sudja, Yogyakarta, Ahad (20/07).
Dalam paparannya, Qaem mengajak para jamaah untuk merefleksikan kembali makna ibadah sebagai jalan menuju kemaslahatan hidup yang utuh. Bukan semata hubungan spiritual dengan Allah, tetapi juga sebagai fondasi perubahan sosial dan kemanusiaan.
Ceramah dimulai dengan penjelasan mengenai makna syarī‘ah. Secara bahasa, istilah ini berasal dari kata syara‘a yang berarti “jalan menuju sumber mata air”. Ini merupakan sebuah metafora yang menggambarkan syarī‘ah sebagai petunjuk hidup yang mengalirkan keberkahan.
Qaem menekankan bahwa syarī‘ah adalah tuntunan ilahi yang, apabila dijalankan dengan benar, akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang harmonis dengan kehendak Allah. Jika manusia menyimpang dari jalan ini, maka ia akan kehilangan arah dan menjauh dari kemaslahatan yang dijanjikan.
Mengutip pemikiran Syekh Yūsuf al-Qaraḍāwī dalam Madkhal li-Dirāsat al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, Qaem menjelaskan bahwa tujuan syarī‘ah bukanlah untuk memenuhi kepentingan Tuhan, melainkan untuk menjamin kebaikan manusia. Ia menyebut bahwa syarī‘ah hadir demi menjaga kemaslahatan, mencegah kerusakan, dan mewujudkan kebaikan yang sempurna dalam kehidupan umat manusia.
Penjelasan kemudian mengalir pada pembahasan tentang ‘ibādah. Qaem mengurai maknanya, baik secara etimologis maupun terminologis, sebagai bentuk totalitas penghambaan yang memadukan ketaatan, ketundukan, kerendahan diri, dan cinta kepada Allah.
Mengutip definisi Ibnu Taymiyyah, ia menegaskan bahwa ibadah adalah bentuk ketundukan mutlak kepada Allah yang dilandasi oleh cinta yang tulus. Ibadah, dalam pengertian ini, mencakup semua perkataan dan perbuatan, lahir maupun batin, yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Qaem juga membedakan antara ibadah ritual murni seperti ṣalāh, puasa, dan zakat, dengan ibadah yang bersifat umum, seperti bekerja atau mengurus keluarga yang diniatkan karena Allah.
Dalam ceramahnya, Qaem juga menekankan lima prinsip agar ibadah diterima oleh Allah. Prinsip tauḥīd menjadi fondasi utama: ibadah hanya ditujukan kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya.
Ibadah juga harus dilakukan tanpa perantara, dengan niat yang ikhlas, sesuai tuntunan Rasulullah, dan dijalankan secara seimbang antara aspek fisik dan ruhani.
Qaem bahkan menyinggung kisah tiga sahabat Nabi yang ingin beribadah secara ekstrem—berpuasa terus-menerus, salat semalaman, dan menolak menikah—namun ditegur Rasulullah karena tidak mencerminkan semangat moderat dalam ajaran Islam.
Salah satu ibadah yang dibahas secara mendalam dalam ceramah ini adalah ṭahārah (bersuci). Qaem mengutip pandangan Imām al-Ghazālī yang menguraikan empat tingkatan bersuci.
Tidak hanya membersihkan tubuh dari najis dan hadas, tetapi juga menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, hingga mencapai derajat spiritual tertinggi: menyucikan jiwa dari segala orientasi selain Allah. Ibadah bersuci, menurutnya, bukan sekadar proses fisik, melainkan latihan spiritual yang mendalam.
Ia lalu mengajak jamaah untuk merenung lebih jauh: “Sudahkah wudhu kita menyucikan akhlak kita? Sudahkah ṣalāh kita membentuk karakter kita?”
Sebab, bagi Qaem, ibadah sejati adalah ibadah yang membawa perubahan. Ia tidak boleh berhenti pada gerakan lahiriah semata, tetapi harus menyentuh hati dan membentuk laku kehidupan sehari-hari yang penuh adab, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.
Dalam kerangka itulah, syarī‘ah dipahami sebagai sistem yang mengatur seluruh kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan primer seperti menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan, hingga kebutuhan sekunder seperti pendidikan dan kesehatan, serta kebutuhan pelengkap seperti kenyamanan tempat tinggal dan kendaraan.
Qaem mengutip Syekh al-Jurjāwī untuk menjelaskan bahwa kemaslahatan dalam syarī‘ah terbagi dalam tiga tingkatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
Menutup ceramahnya, Qaem menegaskan bahwa ibadah dan syarī‘ah bukanlah beban, melainkan jalan menuju kebaikan hidup yang menyeluruh. “Jangan biarkan ibadah kita hanya menjadi rutinitas. Pastikan setiap wudhu, ṣalāh, dan amal kita mendekatkan diri kepada Allah dan membawa dampak baik bagi sesama,” ujarnya.
Pesan ini disambut dengan keheningan yang penuh makna oleh jamaah Masjid Sudja. Ceramah ini seolah menjadi pengingat bahwa ibadah bukan hanya urusan transendensi, tetapi juga tentang bagaimana menjadi manusia yang saleh dan membawa maslahat di tengah masyarakat.