MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Khitan merupakan bagian dari fitrah manusia yang telah dipraktikkan sejak masa Nabi Ibrahim dan menjadi pembahasan penting dalam hukum Islam. Meski telah lama dipraktikkan, para ulama berbeda pendapat mengenai status hukumnya.
Para ulama berbeda pendapat apakah wajib, sunnah, atau hanya sekadar bentuk kemuliaan (makrumah), khususnya dalam konteks khitan perempuan. Perbedaan ini muncul karena keragaman pemahaman terhadap dalil-dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun hadis.
Penjelasan ini disampaikan Muchammad Ichsan, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam ceramahnya di Masjid KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pada Rabu (9/7).
Ichsan memulai pemaparannya dengan merujuk pada riwayat Nabi Ibrahim yang berkhitan pada usia 80 tahun menggunakan kapak. Menurutnya, riwayat ini menjadi dasar awal bahwa khitan telah dikenal dan diamalkan sejak zaman para nabi terdahulu.
Ichsan kemudian mengulas pandangan empat mazhab mengenai hukum khitan. Mazhab Hanafi dan Maliki bersepakat bahwa khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, hukumnya sunnah. Hanya saja, mazhab Hanafi membedakan bahwa bagi laki-laki bersifat sunnah muakkadah, sementara perempuan hanya sunnah biasa.
Dalil utama Hanafi adalah hadis tentang lima fitrah manusia: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memangkas kumis (HR. Bukhari-Muslim). Namun menurut Ichsan, mazhab ini memahami perintah tersebut sebagai anjuran, bukan kewajiban.
Berbeda dengan itu, mazhab Syafi’i dan Hambali memandang bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan. Mereka menguatkan pendapat ini dengan hadis yang memerintahkan Ummu ‘Atiyah, seorang pengkhitan perempuan, untuk memotong sedikit bagian tertentu dan tidak berlebihan.
Hadis ini, meski oleh sebagian ulama dinilai hasan atau bahkan dhaif, dianggap cukup sebagai dasar kewajiban karena bernuansa perintah langsung dari Nabi.
Dalam pandangan resmi Muhammadiyah, kata Ichsan, khitan bagi laki-laki dihukumi wajib. Hal ini sejalan dengan mazhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan untuk perempuan, Muhammadiyah tidak menetapkan hukum wajib maupun sunnah karena tidak ada dalil yang tegas.
Maka, menurut Ichsan, khitan perempuan diposisikan sebagai makrumah, yakni kemuliaan atau penghormatan yang pelaksanaannya bergantung pada kemaslahatan dan adat.
“Jadi, bagi laki-laki, khitan wajib. Tapi untuk perempuan, tergantung maslahat. Kalau dianggap baik dan bermanfaat, silakan dilakukan. Kalau tidak, juga tidak mengapa,” tuturnya.
Mengakhiri ceramahnya, Ichsan menegaskan bahwa perbedaan pendapat dalam fiqh adalah hal wajar dan tidak perlu dipertentangkan. Yang jelas, khitan tetap menjadi praktik yang dijalankan luas oleh umat Islam di berbagai belahan dunia.
Adapun untuk khitan perempuan, ia mengingatkan agar pelaksanaannya tetap mempertimbangkan maslahat serta tidak keluar dari prinsip rahmat dan kemanusiaan dalam syariat Islam.