MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Berjabat tangan atau al-mushafahah dalam Islam atau merupakan tradisi yang telah dijalankan sejak zaman Rasulullah SAW. Praktik ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan dan persaudaraan, tetapi juga memiliki nilai ibadah yang signifikan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Barra bin ‘Azib, Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, kecuali dosa-dosa mereka diampuni sebelum mereka berpisah.” (HR. Ibnu Majah, No: 3693).
Hadis ini menegaskan bahwa berjabat tangan memiliki keutamaan, termasuk sebagai sarana pengampunan dosa. Tradisi ini juga telah menjadi kebiasaan di kalangan sahabat Nabi, sebagaimana dikonfirmasi oleh Anas bin Malik dalam riwayat berikut:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
“Aku bertanya kepada Anas, ‘Apakah para sahabat Nabi SAW sering berjabat tangan?’ Ia menjawab, ‘Ya.’” (HR. al-Bukhari, No: 5908).
Meski demikian, kebolehan berjabat tangan tidaklah mutlak. Islam memberikan batasan-batasan tertentu, terutama ketika melibatkan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Persoalan ini telah menjadi topik diskusi panjang di kalangan ulama.
Dalil-Dalil yang Melarang Berjabat Tangan dengan Non-Mahram
Sebagian ulama berpendapat bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak diperbolehkan. Landasan utama pandangan ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.” (QS. an-Nur [24]: 31).
Ayat ini menegaskan bahwa seorang muslimah hanya boleh menampakkan auratnya kepada mahramnya atau pihak tertentu yang disebutkan. Karena berjabat tangan melibatkan sentuhan pada telapak tangan, yang merupakan bagian tubuh yang boleh terlihat, sebagian ulama berpendapat bahwa sentuhan ini hanya diperbolehkan dengan mahram atau pihak yang disebut dalam ayat tersebut.
Selain itu, hadis dari Aisyah RA memperkuat pandangan ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلَامِ بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَا يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا) قَالَتْ وَمَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلَّا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
“Nabi SAW membaiat perempuan hanya dengan lisan berdasarkan ayat ‘untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.’ Tangan Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah menyentuh tangan perempuan selain perempuan yang beliau miliki (istrinya).” (HR. al-Bukhari, No: 6674).
Hadis ini secara eksplisit menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menghindari berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahram, bahkan dalam konteks baiat, yang merupakan peristiwa penting. Hal ini menjadi indikasi kuat bagi sebagian ulama bahwa berjabat tangan dengan non-mahram tidak dianjurkan.
Hadis lain yang lebih tegas adalah:
عَنْ أَبِي العَلاَءِ حَدَثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabir 20: 212).
Hadis ini menggunakan perbandingan ekstrem untuk menegaskan larangan menyentuh perempuan non-mahram, yang oleh sebagian ulama diartikan mencakup berjabat tangan.
Pandangan yang Membolehkan Berjabat Tangan dengan Syarat
Di sisi lain, sejumlah ulama seperti Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa larangan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak bersifat mutlak. Menurut mereka, kebolehan ini bergantung pada dua syarat utama: tidak adanya syahwat dan tidak adanya potensi fitnah.
Pandangan ini didasarkan pada penafsiran yang lebih fleksibel terhadap dalil-dalil yang ada. Al-Qaradhawi merujuk pada QS. an-Nur [24]: 60, yang memberikan keringanan bagi perempuan tua yang tidak lagi memiliki hasrat untuk menikah untuk menanggalkan pakaian luar mereka tanpa bermaksud memamerkan perhiasan.
Ayat ini, bersama dengan pengecualian dalam QS. an-Nur [24]: 31 tentang “pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan terhadap perempuan” (ghayr uli al-irbah min ar-rijal) dan anak-anak yang belum memahami aurat, menjadi dasar bahwa interaksi dengan lawan jenis diperbolehkan jika tidak memicu syahwat atau fitnah.
Selain itu, al-Qaradhawi menyoroti riwayat lain tentang baiat Rasulullah SAW dengan perempuan, seperti yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah RA:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ: لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا, وَنَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ، فَقَبَضَتِ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا …
“Nabi SAW telah membaiat kami—perempuan Anshar—dan membacakan kepada kami ‘tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun’ dan melarang kami meratapi (mayat), lalu di antara kami ada yang mendekap (berjabat tangan) dengan kedua tangan Rasulullah…” (Mukhtasar Shahih al-Bukhari).
Riwayat ini, bersama dengan riwayat lain dari Ibn Hibban dan ath-Thabari, menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan, Rasulullah SAW melakukan jabat tangan dengan perempuan, meskipun dengan cara tertentu, seperti melalui penghalang atau dengan memasukkan tangan ke dalam bejana.
Menurut Ibn Hajar, baiat Rasulullah kepada perempuan terjadi berkali-kali dengan praktik yang bervariasi, sehingga tidak semua baiat dilakukan tanpa sentuhan. Al-Qaradhawi menyimpulkan bahwa keengganan Rasulullah untuk berjabat tangan dalam riwayat Aisyah tidak serta-merta menunjukkan keharaman, tetapi bisa diartikan sebagai tindakan kehati-hatian (ihtiyat) atau bahkan mubah.
Mengenai hadis yang melarang “menyentuh” perempuan non-mahram, al-Qaradhawi berpendapat bahwa kata al-massu (menyentuh) dalam hadis tersebut bersifat zhanni ad-dilalah (multitafsir). Kata ini bisa merujuk pada hubungan seksual, sebagaimana penafsiran Ibn ‘Abbas terhadap frasa aw lāmastum an-nisā’ dalam Al-Qur’an sebagai kiasan untuk hubungan intim.
Dengan demikian, hadis tersebut tidak secara pasti melarang berjabat tangan, terutama jika dilakukan tanpa syahwat dan dalam konteks yang aman dari fitnah.
Kesimpulan: Prinsip Keseimbangan dan Kehati-hatian
Berdasarkan dalil-dalil, dapat disimpulkan bahwa berjabat tangan dalam Islam pada dasarnya adalah perbuatan yang dianjurkan karena memiliki nilai ibadah dan mempererat ukhuwah. Namun, ketika melibatkan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, Islam mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Larangan berjabat tangan dengan non-mahram tidak bersifat mutlak, tetapi bertujuan untuk mencegah syahwat terlarang dan fitnah, sebagaimana kaidah ushul fikih:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan didahulukan atas mengambil kemaslahatan.”
Oleh karena itu, dalam situasi di mana berjabat tangan berpotensi menimbulkan fitnah atau syahwat sebaiknya dihindari. Namun, dalam konteks tertentu, seperti dalam situasi yang terjamin tidak memicu fitnah, sebagian ulama memperbolehkan dengan syarat ketat.
Keputusan akhir bergantung pada konteks, niat, dan kemampuan menjaga batasan syariat. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis (Bukan Mahram)”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 13 Tahun 2019.