MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Hijrah sejati bukan sekadar perubahan tampilan luar atau kebiasaan beribadah, tetapi sebuah transformasi batin yang menyentuh dimensi akhlak dan relasi sosial.
Pesan ini mengemuka dalam ceramah yang disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Budi Jaya Putra, di Masjid KH Sudja, Senin malam (28/07). Ia mengajak para jemaah untuk tidak berhenti pada simbol-simbol hijrah, melainkan menempuh jalan perubahan menuju ketakwaan sejati.
Mengawali ceramahnya, Budi mengkritisi fenomena “hijrah instan” yang marak di tengah masyarakat. Ia menyebut bahwa banyak orang memahami hijrah hanya sebagai peralihan gaya hidup: dari tidak berjilbab menjadi berjilbab, dari lalai salat menjadi rajin tahajud.
“Hijrah itu bukan hanya perubahan fashion,” ujarnya, “tapi perubahan menuju pribadi yang bertakwa dan disenangi karena akhlaknya.” Ia menambahkan bahwa jika perubahan tersebut justru membuat seseorang merasa lebih suci dan mulai merendahkan orang lain, maka niat hijrahnya perlu ditinjau ulang.
Budi menyinggung pula sikap sebagian orang yang setelah hijrah justru tampil menghakimi, bukan membimbing. “Ada yang baru hijrah, tapi kalau ketemu orang malah menyeramkan. Seolah-olah semua harus ikut versinya,” ujarnya sambil tersenyum.
Menurutnya, hijrah sejati harus menjadikan seseorang lebih santun, lebih sabar, dan lebih peduli terhadap sesama.
Untuk menegaskan makna akhlak dalam hijrah, Budi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim tentang seorang perempuan yang rajin salat malam dan puasa sunnah, namun menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Rasulullah Saw bersabda, “Lā khayra fīhā, wa hiyā fin-nār” — tidak ada kebaikan padanya dan ia termasuk penghuni neraka.
“Salat tahajud dan puasa sunnah itu memang dianjurkan,” kata Budi, “tapi menjaga lisan dan memuliakan tetangga itu wajib.” Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara ḥabl minallāh (hubungan dengan Allah) dan ḥabl minannās (hubungan dengan manusia).
Lebih jauh, Budi menjelaskan bahwa setelah peristiwa Fatḥ Makkah, makna hijrah dalam Islam tidak lagi dimaknai sebagai perpindahan fisik, tetapi sebagai perpindahan moral. Ia mengutip sabda Nabi Saw: “Al-muhājiru man hājara mā nahā Allāh ‘anhu” — orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.
“Hijrah itu bukan dari Jogja ke Jawa Timur,” ucapnya sambil tersenyum, “tapi meninggalkan kebiasaan buruk yang bertentangan dengan syariat.”
Ia menambahkan, ciri utama orang yang berhijrah adalah menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak menyakiti sesama. “Muslim sejati itu yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya,” katanya.
Dalam kerangka itu, hijrah bukan sekadar momen emosional, tetapi sebuah proses menuju ketakwaan, yaitu: hidup dengan penuh kehati-hatian agar tidak melanggar perintah Allah maupun menyakiti makhluk-Nya.
Budi juga mengkritisi kecenderungan sebagian kalangan yang menjadikan media sosial seperti TikTok dan Instagram sebagai rujukan utama dalam mencari ilmu agama. “Rujukannya Al-Qur’ān dan Sunnah, bukan TikTok,” ujarnya tegas.
Ia menyayangkan banyaknya kasus keluarga dan rumah tangga yang rusak akibat salah paham terhadap konten agama yang tersebar di media sosial tanpa filter. Ia pun mendorong jemaah untuk lebih rajin menghadiri majelis ilmu dan berdialog langsung dengan para ulama.
Sambil mengutip Surah al-Nahl ayat 97, Budi menjelaskan bahwa Allah menjanjikan ḥayātan ṭayyibah bagi siapa pun yang beramal saleh dengan dilandasi keimanan. Namun, ia mengingatkan bahwa amal saleh harus dilakukan dengan ikhlas.
“Kalau setelah hijrah malah hidup jadi berat, cek dulu, jangan-jangan ada riya’, sombong, atau pamrih yang belum dibersihkan,” ujarnya.
Pada bagian akhir ceramah, Budi menekankan bahwa inti dari hijrah adalah membentuk akhlak mulia. Ia mengutip sabda Nabi Saw: “Innamā bu‘ithtu li utammima makārim al-akhlāq” — aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Ia menyesalkan sikap sebagian orang yang setelah hijrah justru memutus hubungan dengan keluarga atau teman yang dianggap belum berhijrah. Padahal, kata Budi, Rasulullah Saw sendiri tetap berbuat baik kepada pamannya, Abū Ṭālib, meski ia tidak masuk Islam hingga akhir hayatnya.
“Dekati mereka dengan akhlak, bukan dihakimi. Ajak mereka dengan senyum, bukan hardikan,” tuturnya. Ia mendorong jemaah untuk menjadikan rumah dan lingkungan sebagai tempat dakwah yang lembut dan menyenangkan.
“Kalau perlu, beri hadiah. Bisa pakaian muslimah, bisa juga sembako. Itu lebih efektif daripada ceramah panjang,” tambahnya.
Sebagai penutup, Budi mengajak jemaah untuk terus bermuhasabah dan membangun lingkungan yang mendukung perubahan diri. Ia mengutip hadis riwayat Ahmad bahwa Allah memberi umur panjang kepada orang yang berniat taubat. “Hijrah itu proses. Tidak harus sempurna sekarang, tapi harus lebih baik dari kemarin,” katanya.
Ceramah ini ditutup dengan ajakan kolektif: jangan berhijrah sendirian. Ajak keluarga, tetangga, dan sahabat untuk sama-sama melangkah menuju takwa dan akhlak mulia.
“Jangan masuk surga sendirian,” pungkasnya dengan senyum. “Kalau ada yang tersinggung, ya rasakan saja. Mungkin itu hidayah.”