MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menghadiri acara Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan PP Muhammadiyah tentang Kerja Sama Potensi Kelembagaan.
Haedar berharap agenda MoU ini bukan sekadar penandatanganan belaka, tetapi juga diikuti dengan tindak lanjut yang berdampak. Pada hal ini, Haedar memandang penting terkait prinsip-prinsip memanfaatkan dalam upaya mewujudkan good governance.
“Kita berharap bahwa dana umat ini, itu secara lebih kuat, tajam, dan tepat sasaran itu bisa memberdayakan umat. Jadi kalau dana umat, itu mestinya bisa memberdayakan umat. Dan supaya bisa memberdayakan umat, kita mesti ada program-program yang utama dan pilihan yang bisa sampai sasaran,” ungkap Haedar pada Kamis (31/7) di Kantor PP Muhammadiyah.
Haedar juga menyampaikan mengenai kondisi mayoritas umat di Indonesia yang berada di piramida bawah secara ekonomi. Situasi ini tentunya berdampak juga pada kondisi umat secara sosial, politik, dan budayanya yang lemah.
Menyikapi hal ini, Haedar berpesan kepada seluruh lapisan, khusunya bagi para pemimpin yang ada di Persyarikatan Muhammadiyah.
“Maka pola pikir kita, para pimpinan. Yaitu para pimpinan umat, Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, harus ke situ, supaya tidak elitis. Orientasi elitis itu membuat kita senjang dengan umat. Dan (persoalan ini) tidak cukup dibicarakan, tapi harus lewat program-program nyata,” papar Haedar.
Maka, dana umat dari beberapa sumber seperti BPKH, Badan Amil Zakat, dan sejenisnya, Haedar menyarankan untuk ditasharrufkan dengan prinsip taqdimul aham minal muhim. Mengedepankan yang utama dari yang utama, serta yang terpenting dari yang terpenting. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah penggunaan dana umat untuk kegiatan-kegiatan lain yang akhirnya menjadi tidak sampai kepada sasaran.
Kemudian, selain menekankan tradisi Muhammadiyah, fikih Al-Ma’un mengenai prinsip-prinsip memanfaatkan dalam upaya mewujudkan good governance.
“Kita perlu revitalisasi program-program keumatan yang community based, yang punya kebijakan dan orientasi di komunitas. Dan itu sebenarnya karakter Muhammadiyah dan Aisyiyah,” tutur Haedar.
Namun, karakter Muhammadiyah setelah masa orde baru, lebih-lebih di masa reformasi mengalami fase floating mess, yaitu fase mengambang. Program-program yang dicanangkan pada zaman itu jika dilihat nampak sangat berdekatan dengan umat. Akan tetapi, karena programnya instan.
Haedar mengajak untuk menghidupkan kembali potensi kelembagaan, terlebih dalam bentuk kelembagaan sosial di akar rumput dan umat. Perlu pranata sosial dan program-program yang direvisi dengan gerakan komunitas untuk bisa menembus akar rumput. Tidak hanya itu, program yang dimiliki perlu dicek kembali sepak terjangnya dan mempertajam serta mengakselerasinya, apakah sudah berjalan masif dan terstruktur sesuai dengan tujuannya atau tidak.
“Tugas pimpinan adalah mengawal proses itu. Men-drive proses itu, tidak membiarkan proses itu berlangsung apa adanya. Kan pemimpin harus menggerakkan proses itu. Dan itu harus ada keseimbangan antara peran kita di panggung dengan men-drive program itu. Kalau kita habis di panggung, kita tidak mungkin ada peluang untuk men-drive proses di bawah. Karena panggung itu banyak dan sering meninabobokkan kita sebagai pemimpin,”pungkas Haedar. (Wafiq)