MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sutrisno, menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Jumat (04/07).
Dalam khutbahnya, Sutrisno menekankan pentingnya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup, khususnya bagi civitas akademika Muhammadiyah. Mulai dari mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, hingga pimpinan perguruan tinggi.
Sutrisno mengawali khutbahnya dengan mengajak jemaah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dengan mengamalkan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ia menjelaskan bahwa Muhammadiyah berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana termaktub dalam Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Risalah Islam Berkemajuan.
“Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber pedoman hidup, baik di kampus maupun di luar kampus, untuk menjalani kehidupan di dunia ini,” ujarnya.
Mengutip Al-Qur’an, Sutrisno merujuk pada Surah Al-Baqarah ayat 2, “Dzalikal kitabu la raiba fihi hudal lil muttaqin,” yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Ia juga menyebut Surah Al-Jatsiyah ayat 18 yang menyebut Al-Qur’an sebagai pedoman, petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang yakin. Lebih lanjut, ia menyinggung Surah Az-Zuhruf ayat 3, yang menyatakan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab agar mudah dipahami.
“Untuk memahami Al-Qur’an, kita bisa mempelajari bahasa Arab atau memanfaatkan terjemahan dalam berbagai bahasa, seperti Indonesia, Jawa, Sunda, dan lainnya, yang kini sudah banyak tersedia,” paparnya.
Sutrisno menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an secara bertahap dan istiqamah. Ia mengibaratkan Al-Qur’an sebagai “manual book” kehidupan, sebagaimana produk teknologi memiliki buku panduan penggunaan.
“Allah menciptakan manusia dengan pedoman hidup berupa Al-Qur’an. Oleh karena itu, kita perlu memahami isinya secara konsisten dari waktu ke waktu,” katanya.
Bagi civitas akademika Muhammadiyah, Sutrisno mengusulkan program pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah yang terstruktur. Ia mencontohkan, mahasiswa dapat memanfaatkan mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, yang mencakup tema ketuhanan, kemanusiaan, ibadah, akhlak, muamalah, hingga integrasi Islam dengan sains dan teknologi.
Sementara itu, dosen dan tenaga kependidikan, yang memiliki waktu lebih lama di kampus, didorong untuk menetapkan target tahunan dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an.
“Seorang dosen atau tenaga kependidikan yang baru masuk mungkin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebesar 10%. Setiap tahun, tingkatkan 2-3%. Dalam 10-15 tahun, ketika memimpin program studi atau fakultas, pemahaman bisa mencapai 50-70%. Saat menjadi pimpinan perguruan tinggi, idealnya mencapai 80%,” jelas Sutrisno.
Ia menambahkan, jika seluruh elemen kampus—dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan—istiqamah dalam mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka akan tercipta lingkungan kondusif bagi mahasiswa untuk mengikuti tradisi tersebut. Sutrisno juga mengingatkan bahwa kebiasaan memahami dan mengamalkan Al-Qur’an harus terus dilakukan hingga akhir hayat.
“Ketika ajal tiba, insyaAllah kita siap dengan bekal hasanah di dunia dan akhirat,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa upaya ini memerlukan kesungguhan, kemauan, dan kebulatan tekad, karena meskipun terlihat sederhana, tanpa keseriusan, hal ini tidak akan mudah dilakukan.
Khutbah ditutup dengan doa agar jemaah diberi kekuatan untuk istiqamah dalam menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup, baik di lingkungan kampus maupun di kehidupan sehari-hari.