Zakat memiliki peran sentral dalam menegakkan keadilan sosial dan memperkuat solidaritas umat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menetapkan dengan tegas dan jelas siapa saja yang berhak menerima zakat. Hal ini dijelaskan dalam Surah At-Taubah ayat 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 60].
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan delapan golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat, yaitu fakir, miskin, amil, mu’allaf, budak, gharimin (orang yang berutang), fi sabilillah (di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir).
Namun, jika kita cermati, tidak ada satupun dari golongan ini yang secara langsung menyebutkan pembangunan fisik seperti masjid atau sekolah sebagai penerima zakat. Pertanyaan pun muncul: bolehkah zakat mal dialihkan untuk pembangunan infrastruktur seperti masjid atau sekolah?
Fi sabilillah: Makna Klasik dan Penafsiran Kontemporer
Secara tekstual, istilah fi sabilillah dalam ayat di atas merujuk pada perjuangan di jalan Allah, yang pada masa Rasulullah SAW diartikan sebagai upaya membela Islam melalui jihad fisik, seperti perang untuk mempertahankan agama. Namun, di era modern, makna fi sabilillah telah mengalami perluasan tafsir oleh para ulama kontemporer.
Dr. Yusuf al-Qaradawi, dalam kitabnya Fiqhuz-Zakat, menawarkan pandangan progresif. Ia berpendapat bahwa fi sabilillah tidak hanya terbatas pada jihad bersenjata, tetapi juga mencakup segala bentuk perjuangan untuk menegakkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam. Menurutnya, lembaga dakwah seperti Islamic Center, terutama di wilayah minoritas Muslim, sangat layak menerima dana zakat.
Islamic Center, misalnya, berperan besar dalam memperjuangkan syiar Islam, baik melalui pendidikan, dakwah, maupun pembinaan komunitas. Bahkan, di negara mayoritas Muslim, lembaga semacam ini tetap relevan jika memiliki peran strategis dalam memperkuat Islam.
Di era modern, umat Islam menghadapi “peperangan” dalam bentuk yang lebih kompleks. Musuh-musuh Islam tidak hanya menggunakan senjata konvensional, tetapi juga media massa, organisasi, LSM, dan kampanye sistematis untuk melemahkan keimanan umat.
Dalam konteks ini, mendirikan sekolah Islam, masjid, atau lembaga dakwah menjadi bentuk jihad kontemporer. Sekolah Islam, misalnya, bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga benteng untuk menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini, melawan arus sekulerisasi dan pemurtadan. Masjid, di sisi lain, bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan keummatan yang memperkuat identitas Muslim.
Berdasarkan ijtihad ini, pembangunan masjid atau sekolah dapat dikategorikan sebagai fi sabilillah, terutama jika memiliki misi strategis dalam menegakkan syiar Islam. Misalnya, masjid yang dibangun di wilayah minoritas Muslim atau di komunitas dengan pengamalan Islam yang masih lemah dapat menjadi simbol perjuangan keimanan. Begitu pula sekolah Islam yang menjadi sarana pendidikan dan dakwah memiliki peran serupa.
Dengan demikian, penggunaan dana zakat untuk pembangunan tersebut dapat dibenarkan, selama misinya selaras dengan tujuan fi sabilillah.
Meski pandangan ini mendapat dukungan, tidak semua ulama setuju. Sebagian berpendapat bahwa fi sabilillah harus diartikan secara sempit, sesuai konteks historisnya, yakni jihad fisik. Menurut pandangan ini, mengalihkan zakat untuk pembangunan fisik berisiko menyimpang dari ketentuan syariat, terutama jika kebutuhan asnaf lain, seperti fakir dan miskin, masih mendesak.
Oleh karena itu, pengelola zakat harus berhati-hati dan memastikan bahwa penggunaan dana tersebut benar-benar memenuhi kriteria fi sabilillah dan tidak mengabaikan hak golongan lain.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Zakat Maal untuk Pembangunan”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 7 Tahun 2010.