Pernikahan adalah ikatan suci yang mengikat dua insan dalam bingkai syariat dan hukum negara. Namun, tak jarang muncul pertanyaan-pertanyaan pelik, salah satunya adalah perihal pernikahan perempuan yang sedang dalam kondisi hamil.
Sebuah kasus di tengah masyarakat, di mana seorang teman menikahi pasangannya secara resmi di KUA saat sang istri sudah hamil dua bulan. Setelah kelahiran anak mereka, muncul saran dari sebagian keluarga untuk melakukan pernikahan ulang secara agama, sementara yang lain berpendapat bahwa hal itu tidak perlu karena pernikahan sebelumnya sudah dianggap sah.
Untuk menelaah permasalahan ini, kita perlu merujuk pada sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an. Dalam Surat An-Nisa’ ayat 24, setelah menyebutkan secara spesifik perempuan-perempuan yang haram dikawini pada ayat 22, 23, dan 24, Allah SWT dengan tegas menyatakan:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” (QS. an-Nisa’ (4): 24)
Ayat ini secara eksplisit mengindikasikan bahwa segala jenis perempuan selain yang telah disebutkan secara haram, adalah halal untuk dinikahi. Namun, perluasan larangan pernikahan juga disebutkan dalam ayat-ayat lain.
Perempuan yang Diharamkan untuk Dinikahi dalam Islam
- Perempuan Musyrik: Laki-laki Muslim haram menikahi perempuan musyrik sampai ia beriman (QS. Al-Baqarah: 221, An-Nur: 3).
- Perempuan dalam Masa Iddah karena Talak: Tidak boleh menikahinya sampai masa iddahnya selesai setelah talak (QS. Al-Baqarah: 228).
- Perempuan yang Ditalak Tiga Kali: Mantan suaminya haram menikahinya kembali kecuali setelah ia menikah dengan laki-laki lain, bercerai, dan iddahnya habis (QS. Al-Baqarah: 230).
- Perempuan dalam Masa Iddah karena Suami Meninggal Dunia: Haram menikahinya selama masa iddahnya setelah suami meninggal dunia (QS. Al-Baqarah: 235).
- Perempuan yang Tidak Lagi Haid atau dalam Masa Iddah karena Hamil: Tidak boleh menikahinya selama masa iddahnya yang dihitung berdasarkan kondisi tersebut (QS. Ath-Thalaq: 4).
- Menikahi Perempuan sebagai Istri Kelima: Seorang laki-laki tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang pada satu waktu (QS. An-Nisa’: 3).
- Mengumpulkan Perempuan dengan Saudara Perempuan Bapaknya atau Ibunya sebagai Istri: Dilarang menikahi dua perempuan yang memiliki hubungan mahram seperti bibi dan keponakan dalam satu waktu (QS. An-Nisa’: 23).
Perlu dipahami bahwa ayat-ayat di luar Surat An-Nisa’ 22-24 ini merupakan tambahan (ziyadah) terhadap daftar perempuan yang haram dikawini. Hal ini dalam kaidah ushul fiqh dikenal sebagai ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut, di mana penambahan ini dibolehkan dan memperjelas cakupan hukum.
Namun, di antara semua larangan yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, tidak terdapat satupun larangan menikahi perempuan hamil yang tidak memiliki suami. Ini adalah poin krusial yang seringkali disalahpahami masyarakat.
Jika seorang perempuan hamil, dan kehamilannya bukan disebabkan oleh ikatan pernikahan yang sah, maka tidak ada dalil syar’i yang melarangnya untuk dinikahi, selama semua rukun dan syarat pernikahan terpenuhi.
Oleh karena itu, merujuk pada kasus teman kita, pernikahan yang telah dilangsungkan secara resmi di KUA, dengan terpenuhinya rukun dan syarat nikah, sudah sah secara agama. Tidak ada urgensi maupun keharusan untuk mengulanginya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Menikah Dalam Kondisi Hamil, Perlukah Mengulang Akad?”, dalam https://fatwatarjih.or.id/menikah-dalam-kondisi-hamil-perlukah-mengulang-akad/, diakses pada Selasa, 22 Juli 2025.