MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali menggelar Pengajian Malam Selasa pada Senin malam (28/07) dengan menghadirkan Nur Hidayani, Koordinator Divisi Pembinaan Muballighat PP ‘Aisyiyah, sebagai pemateri.
Dalam kesempatan ini, Nur Hidayani mengupas strategi mendidik generasi milenial, Z, dan Alpha di tengah tantangan zaman dan derasnya arus digitalisasi.
Ia menyampaikan bahwa generasi muda yang kini tumbuh di era serbadigital memiliki potensi luar biasa, namun juga menghadapi ancaman serius jika tidak didampingi dengan pendekatan pendidikan yang tepat, berlandaskan akidah, ibadah, dan akhlak.
Nur Hidayani menjelaskan bahwa usia remaja, khususnya antara 13 hingga 24 tahun, merupakan fase emas yang tidak akan terulang dalam kehidupan. Di masa ini, remaja memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, semangat yang menggelora, energi yang berlimpah, serta penampilan fisik yang sedang berada dalam puncak perkembangan.
Namun, ia mengingatkan bahwa generasi milenial hingga Alpha juga memiliki kecenderungan mencintai kebebasan, menyukai fleksibilitas, serta lekat dengan teknologi dan media sosial, yang acap kali tidak diiringi kecerdasan sosial dan spiritual.
“Dulu anak-anak menyambut tamu dengan ramah, sekarang banyak yang hanya sibuk dengan gawai,” ujarnya.
Ia menyinggung pandangan ilmuwan yang merumuskan sepuluh indikator kehancuran bangsa yang kini banyak dijumpai di kalangan remaja: kekerasan yang meningkat, penurunan etika berbahasa, pengaruh buruk kelompok sebaya, perilaku merusak diri, krisis moral, menurunnya etos kerja, hilangnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya tanggung jawab sosial, maraknya ketidakjujuran, serta berkembangnya rasa saling curiga dan kebencian.
Salah satu contoh nyata yang ia soroti adalah meningkatnya kasus perjudian daring (judi online) di kalangan remaja, yang menurutnya bahkan lebih merusak daripada narkotika.
“Perputaran uang judi daring mencapai sebelas triliun rupiah, dan dampaknya tidak hanya merusak mental, tapi juga menghancurkan stabilitas keluarga,” tegasnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, ia menawarkan dua pendekatan: introspeksi bagi orang tua dan pembinaan langsung bagi generasi muda.
Orang tua, kata Nur Hidayani, perlu melakukan muḥāsabah atas perlakuannya kepada orang tua mereka sendiri, sebab apa yang ditanam akan dituai. Selain itu, keteladanan dalam akhlak, kebersihan rezeki dari unsur haram, serta keterlibatan aktif dalam kehidupan anak menjadi faktor penting dalam keberhasilan pendidikan keluarga.
Ia menekankan bahwa rezeki yang harām dapat mengeraskan hati anak dan menghalangi mereka dari menerima nasihat atau memahami al-Qur’an.
Kepada para remaja, ia berpesan agar memaksimalkan lima potensi masa muda dengan menyibukkan diri dalam amal saleh seperti menghafal al-Qur’an, membaca buku, dan berkarya; menjaga salat tepat waktu, berjama‘ah, dan di masjid (Tepat waktu, Berjama‘ah, di Masjid – TBM); membiasakan akhlak yang baik seperti ramah, sopan, dan suka menolong; aktif dalam kegiatan produktif seperti bercocok tanam atau aktivitas sosial; serta menghormati orang tua, karena ridha Allah bergantung pada ridha mereka.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga tiga fondasi utama kehidupan: akidah yang lurus, ibadah yang sahih, dan akhlak yang mulia.
Menutup ceramahnya, ia mengingatkan kembali pesan Nabi Ya‘qub: bahwa yang paling dikhawatirkan orang tua sejati bukanlah masa depan materi anak, melainkan apakah mereka akan tetap teguh di jalan keimanan.