MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Baitul Arqam untuk thalabah angkatan XXII (2021). Acara ini berlangsung pada Ahad hingga Senin (06-07/07) di Gedung Pusbang Muhammadiyah, Kaliurang, Yogyakarta.
Baitul Arqam merupakan salah satu agenda rutin PUTM yang dilaksanakan dalam rangka penguatan ideologi kader Muhammadiyah jelang diterjunkan ke tempat pengabdian yang tersebar di seluruh Amal Usaha Muhammadiyah.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hamim Ilyas menyampaikan bahwa Muhammadiyah berdiri pada posisi wasatiyah di antara dua kubu ekstrem, kanan dan kiri.
Wasatiyah Muhammadiyah bersifat Ashaliyah/otentik yang keotentikannya tercermin dalam ajaran dan praksis yang sesuai dengan tujuan pewahyuan Nabi Muhammad di Surah Al-Anbiya ayat 107 “Tidaklah Aku (Allah) mengutusmu (Muhammad) kecuali karena dan untuk mewujudkan rahmat bagi semesta alam”.
Hamim menegaskan bahwa rahmat merupakan konsep yang fundamental di dalam ajaran Islam. Ia mengartikan rahmat sebagai riiqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta) yang ekspresinya memberikan kebaikan yang masuk akal kepada yang dicintai.
“Maka cinta bisa disebut rahmat apabila ekspresinya taqtadli al-ihsan /memberikan kebaikan yang masuk akal,” terang Hamim.
Kebaikan yang masuk akal dalam pengertian yang paling luas adalah hidup baik, yang dalam Surah an-Nahl, 16: 97 disebut hayah thayyibah. Hayah thayyibah diperoleh dengan iman dan amal sholeh sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 62.
Ukuran hayag thayyibah itu ada 3 (tiga) yaitu:
- lahum ajruhum ‘inda rabbihim(sejahtera sesejahtera-sejahteranya);
- wa la khaufun ‘alaihim/ tidak ada ketakutan jenis apapun (damai sedamai-damainya);
- wa la hum yahzanun/ tidak bersedih hati, tidak ada kesedihan dalam segala prosesnya (bahagia sebahagia-bahagianya).
Selain itu, Hamim juga menceritakan kisah Nabi Yusuf as yang mampu menjaga kesucian dan bisa mendidik diri sendiri sehingga menguasai ilmu takwil. Sebagai ahsan al-qasas/kisah yang terbaik, kisah Nabi Yusuf menggambarkan tentang perjalanan seorang manusia from zero to hero, dari bukan apa-apa menjadi seorang tokoh besar.
Dari kisah ini, Thalabah PUTM dapat mengambil ibrah bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk menuliskan kisah terbaik dalam hidupnya, sebagaimana Nabi Yusuf yang mewujudkan ahsanal qashash (kisah terbaik).