MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Islam bukanlah agama lokal yang lahir dari tradisi suku atau bangsa tertentu. Ia adalah agama global yang melintasi batas negara, budaya, dan bahasa. Karena itu, Islam sejak awal telah berdialektika dengan berbagai budaya lokal tempat agama ini menyebar.
Demikian ditegaskan Anggota Lembaga Pondok Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM), Cecep Taufiqurrohman, dalam Gerakan Subuh Mengaji, Ahad (06/07).
Cecep menekankan bahwa Islam adalah agama yang membumi, bukan agama langit dalam arti terpisah dari kehidupan nyata.
“Allah menurunkan wahyu kepada para nabi yang juga manusia biasa, bukan malaikat. Karena itu, implementasi wahyu pun sangat terikat dengan realitas manusia di bumi, termasuk dengan budaya dan kehidupan sosial-ekonominya,” ujarnya.
Dalam Surah Al-Furqan ayat 20, Cecep mengutip bahwa para rasul adalah manusia yang makan, minum, dan berjalan di pasar. Ayat ini, menurutnya, mengisyaratkan bahwa model penegakan syariat berasal dari manusia biasa, bukan makhluk spiritual seperti malaikat yang tak bisa diteladani oleh manusia. Maka, aktivitas para nabi pun mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum, dan berinteraksi di pasar, sebagai simbol pusat ekonomi.
Dua Prinsip Dasar sebagai Landasan Menyikapi Budaya Lokal
Dari situ, Cecep menjelaskan prinsip dasar kenabian dan kerasulan. Pertama, bahwa misi utama Islam adalah menegakkan tauhid. Kedua, Islam diutus untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya serta menghapus praktik-praktik buruk yang berkembang di tengah masyarakat.
Dua prinsip ini, lanjutnya, menjadi dasar bagaimana Islam menyikapi budaya lokal—yakni melalui proses interaksi, seleksi, dan penyaringan berdasarkan nilai tauhid dan akhlak.
Cecep juga menjelaskan bahwa istilah “dialektika” yang ia gunakan bukan dalam kerangka filsafat Hegelian, melainkan sebagai bentuk dialog dan interaksi antara ajaran Islam dengan budaya lokal.
“Islam tidak anti budaya lokal, bahkan telah membuktikan kemampuannya berdialog dengan berbagai budaya sejak lebih dari 1400 tahun lalu. Islam masuk ke Eropa, Amerika, Asia Tengah, Tiongkok, hingga Indonesia tanpa harus bersitegang dengan budaya setempat,” katanya.
Mengutip Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, Cecep menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “madaniyun bith-thab’i,” yakni selalu terikat dengan lingkungan sosialnya. Budaya lokal adalah produk interaksi manusia dengan alam dan lingkungan sosialnya. Maka menjadi niscaya bagi ajaran Islam untuk berdialektika dengan budaya yang telah hidup dan mengakar dalam suatu masyarakat.
Pengadopsian dan Penerimaan Budaya Lokal dalam Islam
Contoh konkret dari interaksi ini adalah bagaimana Islam menyikapi tradisi pernikahan di masa jahiliah. Menurut Cecep, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Mawardi dan hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah, ada empat jenis pernikahan yang dikenal di masa jahiliah: nikah istibdâ’, rahat, ar-rayah, dan wilâdah.
Dari keempat bentuk ini, hanya nikah wilâdah yang diakui dan diadopsi oleh Islam sebagai bentuk pernikahan yang sah dan syar’i. Karena dalam konsepsi ini ini menekankan untuk lamaran, mahar, dan persetujuan keluarga.
“Tiga jenis pernikahan lain yang sangat problematik, seperti istri disuruh digauli pria lain untuk mendapat anak unggul, hubungan seksual bebas tanpa pernikahan, dan praktik prostitusi terang-terangan, semuanya dihapus oleh Islam. Tapi satu bentuk yang paling beradab, justru diafirmasi menjadi bagian dari syariat,” ujar Cecep.
Ia menegaskan bahwa dari sini tampak bahwa Islam tidak serta-merta menolak budaya lokal. Sebaliknya, Islam melakukan penyaringan terhadap unsur-unsur budaya: mana yang sesuai dengan nilai tauhid dan akhlak, diterima dan bahkan disyariatkan; sementara yang bertentangan, ditolak dan dihapuskan.
Cecep kemudian mengajak para peserta untuk memahami bahwa keberislaman seseorang tidak harus menafikan budaya lokal, selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Dialektika Islam dan budaya lokal, menurutnya, adalah jalan panjang yang telah dilalui sejak masa kenabian, dan terbukti mampu memperkuat keberagamaan masyarakat tanpa menghilangkan akar budayanya.