Para ulama memiliki pandangan beragam terkait rukun khutbah Jumat dan kewajiban setiap elemennya. Perbedaan ini utamanya bersumber dari ketiadaan perintah eksplisit dari Rasulullah SAW mengenai tata cara berkhutbah secara terperinci. Yang ada hanyalah sunnah fi’liyah (perbuatan Nabi), yaitu catatan praktik beliau saat berkhutbah.
Dalam ilmu ushul fiqh, nilai dalalah sunnah fi’liyah tidak selalu menunjukkan kewajiban mutlak; ia perlu ditinjau lebih lanjut apakah perbuatan tersebut mengindikasikan wajib, sunnah, atau mubah.
Sebagai contoh, riwayat dari Jabir bin Samurah RA menyebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا وَيَجْلِسُ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ وَيَقْرَأُ آيَاتٍ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ
“Rasulullah SAW berkhutbah sambil berdiri, duduk di antara dua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan mengingatkan manusia.” (HR. Ahmad).
Riwayat ini memang menunjukkan praktik Nabi SAW berkhutbah, termasuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang kala itu tentu berbahasa Arab. Namun, tidak ada dalil eksplisit yang secara tegas mensyaratkan seluruh khutbah Jumat harus dalam bahasa Arab.
Pun demikian, tidak ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW atau para sahabat berkhutbah dengan bahasa selain Arab. Ini wajar, mengingat bahasa Arab adalah bahasa kaumnya dan lingua franca masyarakat kala itu, bukan karena adanya kewajiban syariat untuk khutbah dalam bahasa Arab di segala kondisi.
Fungsi Utama Khutbah Jumat
Fungsi khutbah Jumat sangat vital, mencakup: tandzir (peringatan), tausiyah (nasihat), tadzkir (penyadaran), tabsyir (kabar gembira), dan sebagai salah satu kewajiban khatib. Agar fungsi-fungsi ini tercapai secara optimal, khutbah mutlak harus dapat dipahami oleh jamaah.
Prinsip ini secara tegas didukung oleh firman Allah SWT dalam Surah Ibrahim (14) ayat 4:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.”
Ayat ini menegaskan bahwa komunikasi efektif dalam dakwah harus menggunakan bahasa yang dipahami oleh audiens. Dalam konteks khutbah Jumat, jika khutbah disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab kepada jamaah yang mayoritas tidak memahaminya, maka tujuan utama khutbah sebagai media tandzir, tausiyah, tadzkir, dan tabsyir tidak akan tercapai.
Meskipun isi khutbah boleh disampaikan dalam bahasa lokal, terdapat beberapa elemen tertentu yang sangat dianjurkan untuk tetap menggunakan bahasa Arab, mengikuti sunnah fi’liyah Rasulullah SAW dan memiliki dasar dalil yang kuat.
Elemen-elemen tersebut meliputi:
1. Hamdalah (Pujian kepada Allah)
Rasulullah SAW selalu memulai khutbahnya dengan hamdalah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ (رواه الترمذى)
“Dari Jabir Ibnu Abdillah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw dalam khutbahnya memuji Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya, kemudian mengatakan: Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkannya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk; sesungguhnya ucapan paling benar adalah Kitab Allah dan petunjuk paling baik adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang dibuat-buat (diada-adakan), dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka.” [HR at-Tirmidzi].
2. Syahadah (Kesaksian Tauhid dan Risalah)
Syahadah merupakan elemen fundamental dalam khutbah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
“Dari Abu Hurairah r.a (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap khutbah yang di dalamnya tidak ada tasyahhud (ucapan syahadat) adalah seperti tangan yang buntung.” [HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad].
3. Shalawat atas Nabi Muhammad SAW
Allah SWT secara tegas memerintahkan umat Islam untuk bershalawat kepada Nabi SAW:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 56).
4. Membaca Ayat Al-Qur’an
Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah adalah sunnah Rasulullah SAW, sebagaimana kembali ditegaskan dalam riwayat Jabir bin Samurah yang telah disebutkan di awal:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ (رواه مسلم)
“Dari Jabir Ibnu Samurah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah nabi saw melakukan dua khutbah yang di antara dua khutbah itu ia duduk. Beliau (dalam khutbahnya) membaca al-Quran dan memberi pesan (peringatan) kepada jamaah.” [HR Muslim].
5. Doa untuk Kaum Muslimin
Doa dalam khutbah kedua, terutama jika mengutip dari Al-Qur’an atau hadis (seperti doa-doa ma’tsur yang diajarkan Rasulullah SAW), sebaiknya dipertahankan dalam bahasa Arab.
Namun, jika doa tersebut merupakan ijtihad khatib atau untuk konteks spesifik jamaah, penggunaan bahasa yang dipahami, seperti bahasa Indonesia, sangat diperbolehkan agar jamaah dapat mengamini dan memahami makna doa tersebut.
Berdasarkan tinjauan dalil-dalil syariat dan mempertimbangkan fungsi khutbah, dapat disimpulkan bahwa khutbah Jumat tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab secara keseluruhan.
Kewajiban berbahasa Arab hanya berlaku pada elemen-elemen pokok yang bersifat ritual dan mengikuti sunnah qauliyah atau fi’liyah yang kuat, seperti hamdalah, syahadah, shalawat, serta pembacaan ayat Al-Qur’an dan doa-doa ma’tsur.
Untuk bagian isi atau substansi khutbah, penggunaan bahasa yang dipahami oleh mayoritas jamaah adalah prioritas utama. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 4 yang menekankan pentingnya komunikasi dalam bahasa kaumnya agar pesan dakwah tersampaikan dengan terang dan jelas.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Khutbah Jum’at Berbahasa Indonesia”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 1 Tahun 2015.