MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Kesedihan karena tidak dapat melaksanakan ketaatan adalah tanda hati yang hidup dan ciri keimanan yang kuat. Demikian disampaikan Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Feri Septianto, pada Kamis (12/06) di Masjid KH Sudja Yogyakarta.
“Jangan bersedih ketika kita terlewat melakukan kebaikan, meskipun kita sudah berniat dan berusaha, tapi kemampuan kita terbatas,” ujarnya. “Orang beriman akan merasa sedih jika terlewat melakukan ketaatan, seperti salat berjamaah atau membaca Al-Qur’an, karena itu menunjukkan hati mereka masih hidup,” tambahnya.
Kajian ini mengambil momentum bulan Zulhijah, di mana umat Islam menyaksikan berbagai ibadah mulia seperti salat Iduladha dan penyembelihan hewan kurban. Feri menyoroti makna pengorbanan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Hajar, yang menjadi teladan dalam ketaatan dan pengorbanan.
“Ketaatan itu membutuhkan pengorbanan. Ketika kita memiliki rezeki berlimpah, misalnya, kita bisa ikut berkurban, baik sapi maupun unta, untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang mampu,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa Islam mengajarkan kebahagiaan (as-sa’adah) yang merata, bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk seluruh umat, baik di dunia maupun akhirat.
Feri juga menyentuh fenomena ibadah haji, yang menjadi salah satu momen paling dirindukan umat Islam. Ia menyebutkan bahwa tahun ini, 1446 Hijriah, beberapa calon jemaah haji menghadapi kendala, terutama karena visa haji furoda tidak dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi.
“Haji adalah panggilan dari Allah. Buktinya, ada yang mampu secara finansial, bahkan membayar ratusan juta, tapi belum diizinkan Allah,” ujarnya, menegaskan bahwa haji adalah ibadah yang bergantung pada kehendak Allah.
Meski demikian, ia mengingatkan jemaah untuk tidak larut dalam kesedihan jika belum bisa menunaikan haji. “La Tahzan, jangan bersedih. Jika tahun ini kita belum berhaji, carilah pintu kebaikan lain, seperti salat sunnah, puasa sunnah, sedekah, atau menghadiri majelis ilmu,” pesannya.
Dalam kajiannya, Feri mengutip kisah sahabat Nabi Saw pada Perang Tabuk di tahun 9 Hijriah. Saat itu, beberapa sahabat Anshar ingin ikut berperang tetapi terhalang karena ketiadaan kendaraan. Ketika Rasulullah menyatakan tidak dapat menyediakan transportasi, mereka pulang dengan menangis karena sedih tidak bisa berpartisipasi.
“Ini menunjukkan tanda keimanan. Mereka sedih karena tidak bisa beramal saleh,” jelas Feri.
Namun, ia mengutip hadis Nabi yang menyebutkan bahwa mereka yang tidak ikut berperang karena uzur, tetapi memiliki niat tulus, tetap mendapat pahala seperti mereka yang berperang. “Niat yang tulus, disertai usaha dan persiapan, bisa membuat kita mendapat pahala meski belum melaksanakan ibadah tersebut,” tegasnya.
Feri juga mendorong jemaah untuk mempersiapkan diri sejak dini untuk ibadah haji, tanpa harus menunggu usia tua.
“Banyak yang menabung puluhan tahun demi haji, menunjukkan cinta dan rindu mereka kepada Baitullah. Bahkan anak-anak muda bisa mulai menabung dan belajar fikih haji sejak sekarang,” sarannya.
Ia menekankan pentingnya menjaga niat tulus dan usaha nyata, bukan sekadar keinginan tanpa tindakan.
Kajian ini ditutup dengan pesan optimisme: meski terhalang melakukan satu amal saleh, pintu kebaikan lain selalu terbuka. “Jika satu pintu tertutup, cari pintu lain. Amal saleh itu banyak, seperti zikir, sedekah, atau silaturahim. Yang penting, jangan berhenti berbuat baik,” pungkas Feri.