MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ibadah kurban yang telah dilaksanakan pada Hari Raya Idul Adha harus menyemai keikhlasan, ketaatan, dan ketakwaan. Demikian disampaikan Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Talqis Nurdianto, dalam ceramahnya di Masjid KH Sudja, Yogyakarta, pada Ahad (15/06).
Mengawali ceramahnya, Talqis mengutip Surah Al-Kautsar ayat 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”
Ia menjelaskan bahwa ayat ini menjadi landasan spiritual ibadah kurban, mengingatkan umat Islam akan nikmat besar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, baik di dunia maupun akhirat. Nikmat ini, kata Talqis, harus diikat dengan ketaatan melalui salat yang ikhlas dan pengorbanan yang tulus.
“Salat adalah ibadah vertikal antara hamba dan Allah, sedangkan kurban adalah ibadah horizontal yang mencerminkan kepedulian kepada sesama,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa daging dan darah hewan kurban tidaklah sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan dari pelaku kurbanlah yang diterima.
Dalam konteks Idul Adha, Talqis mengajak jemaah untuk merenungi makna kebahagiaan. Ia menyebutkan bahwa Idul Adha adalah hari pesta umat Islam, sebagaimana Nabi Muhammad SAW menggantikan tradisi jahiliah di Madinah dengan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
“Jika ada yang sedih di hari Idul Adha, kita dianjurkan untuk membahagiakannya,” katanya, seraya mengingatkan pentingnya berbagi daging kurban kepada mereka yang membutuhkan, bahkan kepada orang yang tidak dikenal.
Keikhlasan dalam berbagi, menurutnya, adalah inti dari ibadah kurban, bukan sekadar memamerkan jumlah hewan yang dikorbankan atau mengharapkan pujian.
Talqis juga menyoroti pentingnya menjaga keikhlasan setelah pelaksanaan kurban. Ia mengingatkan bahwa pahala ibadah bisa “menguap” jika tidak diiringi keikhlasan.
“Jangan sampai kita sombong, mengatakan, ‘Kalau bukan karena kurban saya, orang-orang tidak akan makan daging.’ Itu tanda kurangnya keikhlasan,” tegasnya.
Ia menceritakan kisah lucu tentang seseorang yang marah karena namanya tidak disebut dalam laporan panitia kurban, menggambarkan betapa keikhlasan harus terus dijaga, bahkan bertahun-tahun setelah ibadah dilaksanakan.
“Keikhlasan itu seperti baju takwa yang harus selalu kita kenakan, bukan hanya saat kurban, tetapi dalam setiap aspek kehidupan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Talqis menghubungkan ibadah kurban dengan keteladanan Nabi Ibrahim AS. Ia menyoroti bagaimana Nabi Ibrahim mendidik anak-anaknya, Ismail dan Ishak, dengan nilai-nilai k Ascension.
“Kehadiran seorang ayah dalam keluarga itu penting. Sayangnya, 80% anak di Indonesia kehilangan figur ayah, entah karena wafat atau tidak hadir,” ungkapnya, mengutip data tahun 2021. Ia menekankan bahwa orang tua harus mengajarkan ketaatan dan nilai-nilai kebaikan, seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim, agar anak-anak tumbuh dengan arah hidup yang jelas.
Nilai kepedulian sosial juga menjadi poin penting dalam ceramahnya. Talqis mendorong jemaah untuk berbagi dengan ikhlas, bahkan kepada orang yang tidak dikenal, sebagai wujud keimanan dan kesyukuran.
“Kurban mengajarkan kita untuk mengorbankan ego demi kebaikan bersama. Jangan hanya memikirkan diri sendiri, tetapi peduli pada tetangga dan masyarakat,” katanya.
Ia juga mengingatkan untuk tidak berlebihan dalam mengonsumsi daging kurban agar tetap menjaga kesehatan, sembari bercanda tentang keluhan kolesterol setelah makan jeroan.
Ceramah ini juga menyinggung hukum ibadah kurban, yang menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali adalah sunnah muakkadah, tetapi wajib menurut mazhab Hanafi. Talqis menekankan bahwa bagi yang mampu, kurban adalah wujud ketaatan yang tidak boleh diabaikan.
Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang memiliki kelapangan rezeki namun tidak berkurban, janganlah ia mendekati tempat salat kami,” untuk menegaskan pentingnya ibadah ini bagi yang mampu.
Di akhir ceramah, Talqis mengajak jemaah untuk meneladani sifat mukhbithin, yaitu orang-orang yang rendah hati dan taat kepada Allah. Ia menjelaskan bahwa mukhbitin adalah mereka yang rela mengorbankan harta, pikiran, tenaga, bahkan jiwa, untuk beribadah kepada Allah dengan penuh semangat.
“Ibadah kurban adalah latihan spiritual untuk mengurangi keterikatan pada dunia dan memperkuat hubungan dengan Allah,” tuturnya. Ia juga mengingatkan pentingnya mendidik anak-anak dengan nilai-nilai kebaikan dan ketaatan, serta memakmurkan masjid sebagai wujud kebersamaan.
Ceramah yang berlangsung di Masjid KH Sudja ini diakhiri dengan doa agar amal ibadah kurban diterima Allah dan menjadi sarana menuju ketakwaan. Talqis menegaskan bahwa ibadah kurban bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan spiritual untuk terus menjaga keikhlasan, ketaatan, dan kepedulian sosial dalam kehidupan sehari-hari.