MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Haji tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai fenomena sosial, budaya, dan bahkan festival yang kaya akan makna lokal. Pernyataan ini disampaikan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Moh. Soehadha pada Selasa (10/06) podcast di channel Wonderhome Library.
Perbincangan ini terinspirasi dari buku terbaru Moh. Soehadha berjudul Antropologi Haji: Haji dalam Tradisi Lokal di Indonesia, yang menawarkan sudut pandang unik tentang pengalaman haji dari kacamata antropologi.
Mengawali diskusi, Syifa Widigdo mempertanyakan apa itu antropologi, sebuah disiplin ilmu yang kerap dianggap “kurang empiris” atau bahkan “ilmu ngarang” oleh sebagian kalangan.
Soehadha dengan lugas menjelaskan bahwa antropologi adalah ilmu yang berusaha memahami masyarakat dari dalam, melalui pendekatan emik. “Kita harus berpikir apa yang mereka pikirkan, merasakan apa yang mereka rasakan. Ini tidak bisa dilakukan dengan statistik,” ungkapnya.
Menurutnya, tulisan-tulisan antropologi sering terasa seperti novel karena mampu menghadirkan pengalaman dekat (experience) yang hidup, berbeda dengan pendekatan positivistik yang cenderung menghasilkan “pengalaman jauh.”
Soehadha, yang telah menekuni antropologi sejak jenjang S1 hingga S3, menceritakan bagaimana ia akhirnya tertarik pada studi agama Islam sebagai objek penelitian. Perjalanannya tidak selalu mulus; ia sempat “tergoda” oleh disiplin lain seperti sejarah dan ekonomi, namun antropologi tetap menjadi panggilan utamanya.
Pengalamannya di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, yang berbasis teologi, justru memperkaya pemahamannya tentang agama melalui pendekatan interdisipliner. “Studi agama itu scientific cum doktriner, ada sainsnya, ada doktrinnya,” katanya, mengutip Mukti Ali.
Haji: Lebih dari Sekadar Ritual
Haji, sebagai salah satu rukun Islam, biasanya dibahas dari sudut pandang manasik, filosofi, atau sejarah keagamaan. Namun, Soehadha menawarkan perspektif baru melalui antropologi, yang melihat haji sebagai bagian dari sistem gagasan lokal masyarakat Indonesia.
Dalam bukunya, ia menggambarkan haji tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang sarat dengan makna budaya, ekonomi, dan bahkan politik.
Salah satu poin menarik dari perbincangan ini adalah bagaimana haji telah bergeser dari ritual ke festival. Soehadha mengutip Snouck Hurgronje, yang menyebut haji sebagai “festival” bahkan sebelum era Islam, ketika aktivitas di sekitar Ka’bah penuh dengan kekacauan.
Kini, festivalisasi haji terlihat dari berbagai praktik lokal, seperti walimatus safar (perayaan keberangkatan) dan penyambutan kepulangan haji yang meriah, terutama di daerah seperti Madura dan Lombok.
“Di Lombok, ada yang disebut selakaran, perayaan berhari-hari dengan selawat dan jamuan, mirip resepsi pernikahan,” ujar Soehadha. Spanduk besar bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Haji” dengan foto jemaah pun menjadi pemandangan umum, menyerupai hiruk-pikuk kampanye Pilkada.
Namun, festivalisasi ini tidak selalu ringan. Soehadha menyoroti beban sosial yang menyertai gelar haji. Di masyarakat lokal, haji bukan hanya soal ibadah, tetapi juga status sosial. Gelar “Haji” atau “Tuan” menempatkan seseorang pada posisi terhormat, dianggap memiliki pengetahuan agama dan kemampuan ekonomi lebih.
“Banyak yang datang dengan proposal pembangunan masjid setelah seseorang pulang haji, karena dianggap kaya,” candanya. Namun, ini bisa menjadi beban, terutama bagi mereka yang hanya mampu melunasi biaya haji tanpa anggaran untuk perayaan tambahan.
Tantangan Metodologi Antropologi
Sebagai antropolog yang juga menjalankan ibadah haji, Soehadha menghadapi tantangan metodologis yang unik. Dalam antropologi klasik, seorang peneliti harus memisahkan diri sebagai penganut agama dan sebagai pengamat objektif.
Namun, Soehadha memilih pendekatan yang lebih modern, di mana ia menjalankan peran sebagai jemaah sekaligus peneliti. “Saya tidak mengantongi iman saya, tapi menjalankan metodologi antropologi sebagai orang beriman,” katanya.
Pendekatan ini tidak mudah. Ia harus menyembunyikan identitasnya sebagai antropolog, bahkan dari istri dan teman seperjalanan, untuk tetap fokus mencatat pengamatan.
“Istri saya sampai bertanya, kenapa saya tidak pernah lepas dari HP saat menjalankan ritual,” kenangnya sambil tertawa. Haji pertamanya pada 2022, pasca-pandemi, memberikan keuntungan karena kuota terbatas dan suasana lebih terkendali, memudahkan pengamatannya.
Soehadha juga membahas dua teknik observasi dalam antropologi: participant observation dan naturalistic observation. Dalam participant observation, peneliti hidup bersama masyarakat tetapi tetap mengidentifikasi diri sebagai pengamat.
Sebaliknya, dalam naturalistic observation, peneliti “menyamar” sebagai bagian dari masyarakat tanpa diketahui, seperti yang dilakukan Oscar Lewis saat meneliti gelandangan di Meksiko. Teknik ini berisiko membuat peneliti “buta budaya” (cultural blind) karena terlalu larut dalam keakraban dengan subjek penelitian.
Haji Ilegal dan Dinamika Sosial
Diskusi juga menyentuh isu haji ilegal, yang belakangan menjadi sorotan akibat regulasi ketat pemerintah Arab Saudi. Soehadha menyebut fenomena ini sebagai “Haji Siri,” analogi dengan kawin siri, yang sah secara sosial tetapi tidak diakui secara formal.
Banyak jemaah, terutama dari kalangan TKI, menggunakan visa kerja atau umrah untuk berhaji, memanfaatkan jaringan lokal di Arab Saudi. “Dulu ini biasa saja, tapi sekarang jadi masalah karena kuota haji yang semakin ketat,” jelasnya.
Menariknya, motivasi berhaji tidak selalu murni ibadah. Selain dorongan iman, ada faktor sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Di masyarakat lokal, gelar haji meningkatkan status sosial, memberikan otoritas keagamaan, hingga dianggap sebagai modal elektabilitas politik.
“Ada yang berhaji untuk jadi anggota DPR,” ujar Soehadha, setengah bercanda.
Di penghujung podcast, Soehadha menegaskan bahwa antropologi haji mengajarkan cara beragama secara cerdas. “Beragama itu proses manusiawi, penuh kekurangan,” katanya.
Antropologi memungkinkan kita melihat sisi kemanusiaan dalam praktik keagamaan, termasuk kontradiksi seperti komodifikasi haji atau festivalisasi yang kadang melenceng dari esensi ibadah. Ia berharap bukunya memicu studi-studi baru, seperti antropologi salat, puasa, atau zakat, yang dapat memperkaya pemahaman tentang Islam dalam konteks lokal.
Syifa Widigdo menutup perbincangan dengan apresiasi atas wawasan yang dibagikan. “Buku ini bukan hanya tentang haji, tetapi tentang bagaimana kita memahami agama dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.