MUHAMMADIYAH.OR.ID, SAMARINDA – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyampaikan pidato kebangsaan yang inspiratif dalam agenda Resepsi Milad Muhammadiyah ke 116 H dan ‘Aisyiyah ke 108 M pada Sabtu (14/6) dihadapan Pejabat Pemerintah, Tokoh Masyarakat, Pimpinan Organisasi Masyarakat dan seluruh Warga Muhammadiyah di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Dalam pidatonya, Mu’ti mengangkat isu strategis seputar pendidikan, ideologi kebangsaan, hingga tantangan generasi muda di era digital.
“Dua kalender, satu tujuan,” ujar Mu’ti saat membuka sambutan, merujuk pada pentingnya menyelaraskan nilai-nilai spiritual Islam dengan realitas kehidupan modern. Ia menjelaskan bahwa penanggalan Masehi dan Hijriah sama-sama berkontribusi dalam membentuk kedisiplinan dan peradaban umat.
Di hadapan peserta yang terdiri dari wali kota, TNI-Polri, dan warga Muhammadiyah, Mu’ti mengaitkan nilai-nilai Qurani dengan arah pembangunan nasional. Menurutnya, delapan cita-cita pembangunan (Astacita) yang menjadi visi Indonesia ke depan sangat selaras dengan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an.
“Astacita itu Qurani. Ia mencerminkan keadilan, amanah, dan kemaslahatan umat,” tegasnya.
Dalam pidato tersebut, Mu’ti menaruh perhatian besar terhadap kualitas pendidikan nasional. Ia mengkritik orientasi pendidikan yang terlalu berfokus pada akademik, tanpa membangun karakter siswa.
“Pendidikan adalah jalan memuliakan manusia. Ia harus membentuk etika, bukan hanya nilai ujian,” katanya.
Mu’ti juga menyoroti kebiasaan generasi muda yang kurang sehat dan tidak disiplin. Ia mencontohkan sistem pendidikan di Singapura yang menyediakan makan siang bergizi gratis dan menerapkan larangan konsumsi minuman ringan di sekolah sebagai bentuk pendidikan perilaku hidup sehat sejak dini.
Tak hanya itu, Ia memperingatkan bahaya budaya digital yang dangkal, yang ia sebut sebagai scroll society. Masyarakat dinilai terlalu cepat mengambil kesimpulan hanya berdasarkan judul berita, tanpa pemahaman yang mendalam.
“Kita kehilangan budaya membaca dan berpikir. Ini berbahaya untuk masa depan bangsa,” ujarnya.
Menurut Mu’ti, solusi pembangunan nasional harus menyentuh dimensi kesejahteraan fisik (welfare) dan batin (well-being). Ia mencontohkan beberapa negara maju yang justru mengalami krisis kebahagiaan meskipun kaya secara ekonomi.
“Pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal membangun jiwa dan kebahagiaan rakyat,” tegasnya.
Dalam membangun SDM unggul, ia menekankan pentingnya karakter pemimpin masa depan yang kuat secara fisik dan berintegritas, sebagaimana sifat Nabi Musa: qawiyyun amin (kuat dan dapat dipercaya). Untuk itu, Abdul Mu’ti memperkenalkan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7 KAIH) yang harus dibangun sejak dini: Bangun Pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan Sehat dan Bergizi, Gemar Belajar, Bermasyarakat can Tidur Cepat.
Di akhir pidatonya, Mu’ti mengajak seluruh elemen Muhammadiyah dan masyarakat umum untuk terus menjaga nilai-nilai Islam dan kebangsaan dalam praktik hidup sehari-hari. Ia menegaskan bahwa mencintai negeri bukan hanya melalui slogan, tetapi lewat kontribusi nyata untuk pendidikan, kemanusiaan, dan keadaban publik.
“Dari mimbar ini, mari kita melangkah ke masa depan dengan cahaya nilai dan integritas. Kita tidak hanya mempertahankan Indonesia, tapi membentuknya menjadi negeri yang berperadaban,” tutupnya.